Kamis, 11 Oktober 2012

Aku Mencintaimu


Suatu senja aku berjalan melewati sebuah sungai kecil di pinggiran kota tempat aku hidup. Aku berjalan perlahan dan kemudian melihat seekor burung kecil  termenung di dekat sebuah pohon..
“Apa yang sedang kau lakukan??” tanyaku.,
Dia lalu menengadah ke langit dan menundukkan kepalanya kembali.

“AKU MENCINTAI SEEKOR ELANG..” katanya lirih..

“Suatu hari aku hanya memperhatikanya dari sini, dia begitu indah. Begitu gagahnya melayang di angkasa dan omong kosong jika aku berkata tidak mengharapkannya untuk sejenak melihatku. Aku menunggu meski dia tak tahu. Aku mengharapkan sekalipun dia tak menginginkanku. Ia terus berada jauh di atas sana, melayang di angkasa. Dan aku sangat mengaguminya dari sini, hingga akhirnya ia menukik ke arahku. Betapa aku merasa luar biasa perhatianya tertuju padaku, betapa semua itu membuatku terasa melayang jauh melebihi batasan kemampuanku. Hingga aku menyadari semuanya hanya seketika sampai ia menyakitiku. Sebentar saja dia ingin memangsaku. Semakin dia mendekatiku semakin aku merasa terluka akan semuanya. Ternyata semuanya tak seperti yang aku harapkan...
Aku lalu menyadari kesalahanku dan pergi meninggalkanya dengan penuh luka.”

“Betapa itu sangat menyakitkan” kataku.
Dia lalu melanjutkan ceritanya lagi...
“Ada yang lalu mencoba mengobati lukaku. Perlahan dia balut luka luka di tubuhku. Tapi aku tak cukup kuasa untuk terbang. Aku tak cukup kuasa untuk memandang langit lagi. Tak kuasa untuk mellihat elang yang lain. Ia membantuku berjalan di tanah melewati hari-hari beratku, ia tak pernah menuntutku untuk terbang tinggi seperti elang dulu, ia ada untuk selalu tersenyum anggun kepadaku, ia ada untuk memperingatkanku untuk tidak mengingaat-ingat luka yang pernah aku terima”.
“Butuh waktu yang tidak singkat sampai aku menyadarinya,

"AKU TELAH JATUH HATI PADA SEEKOR MERAK..”
“Aku mencoba memberi dari segala kekuranganku. Dia membuatku bahagia dengan hal kecil yang ia lakukan. Aku sangat menyayanginya. Tetapi sebentar saja ia berubah. Bukan lagi dia yang selalu tersenyum anggun untukku tetapi untuk kepongahan nya. Dia sangat dikagumi banyak orang. Dia lebih  memilih untuk mengorbankan perasaanya daripada bulu indahnya. Dia tak pernah sedetik pun lepas mengawasi mereka. Aku menyayanginya dan mencoba mengerti akan hal itu. Tapi apa yang kudapat? Suatu ketika ia datang menghampiriku dan berbicara bahwa dia hanya ingin berkata bahwa dia menyayangiku, tapi tidak dengan cara ini. Dia menyayangiku tetapi tidak ingin perhatian terhadap bulunya berkurang. “Sudahlah...” katanya, “Aku mencintaimu... tapi ini sudah berakhir...’’
“Ini menyakitiku lebih dari kemarin. Semakin aku menyayanginya, semakin sakit terasa. Dia tak pernah mau tahu apa yang kurasakan. Ketika aku lelah mengikutinya kemanapun untuk memperlihatkan bulu indahnya atau ntahlah dia mungkin tak peduli dengan apa yang aku rasakan.
Semakin lama aku semakin terluka. Terluka akan segala hal yang pernah kualami. Terluka pada semua yang entah mengapa harus aku lalui. Aku lelah, sangat lelah... Ketika aku merasa sangat sakit dan terluka aku harus tetap menjalani hidupku. Ketika aku menangis aku harus tetap berlari meskipun arah tak lagi jelas kulihat, “Sudahlah.. “ ,katanya suatu hari “ Aku tahu kau mencoba bertahan dalam lukamu mendampingiku. Tapi semuanya benar-benar harus berakhir kali ini. Entah itu membutuhkan alasan atau tidak. Entah kau menerimanya atau tidak, yang jelas aku akan pergi. Selamat tinggal semoga kau bahagia”. Dan begitu saja dia benar-benar meninggalkanku yang berusaha memahaminya dengan sangat. Hal itu membuatku benar-benar merasa kosong. Aku tak mengerti mengapa semua terjadi seperti itu. Aku tak mengerti mengapa aku memberikan semuanya setulus hatiku tetapi kemudian ini yang aku dapatkan. Aku tak mengerti...” 

Burung  kecil itu lalu menatapku dan tersenyum menitikkan air matanya...
“Kemudian aku berkenalan dengan seekor nuri kecil. Aku mengenalnya ketika berkali-kali luka itu telah kudapat. Dia berbeda. Dia  sederhana. Tapi ada yang lain darinya. Yang membuatku ingin tertawa setiap kali melihatnya meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain. Yang bisa menertawakan aku ketika melihatku terjatuh saat hendak terbang lalu kemudian datang menghampiri untuk memberikanku sebuah senyuman yang meyakinkanku dia ada  di perjalananku, Dia menyayangiku dan tidak memaksaku. Dia bahkan sering membuatku bingung dengan kata-katanya yang berantakan. Kami berbeda. Sangat berbeda. Dia juga bukan seekor nuri yang begitu pintar untuk kuajak berdiskusi tentang permasalahan  yang kuhadapi. Tetapi dia selalu ada untuk mendengarkanku.

"AKU JATUH CINTA PADANYA...SEEKOR NURI.."
Tapi apa yang kurasa? Aku kecanduan. Ketika aku menginginkan suaranya dia ada beberapa kali dan ketika tidak itu jauh lebih menyakitiku. Ketika aku ingin merasakan hangat tawanya bersamaku malah membuatku menginginkannya seutuhnya. Dia memberikan segala apa yang aku mau, dan ketika aku menginginkan hal kecil sementara dia tidak menyadarinya, membuatku sakit.. Ntahlah apa yang kuinginkan padanya benar atau hanya pelampiasan egoku yang terus disakiti. Bodohnya aku malah menjauhinya. Membiarkan ia terlepas dalam tanyanya. Aku tahu dia pasti sangat terluka karena  aku pun  merasakan luka yang sama. Tapi aku tetap meninggalkanya dengan segudang alasan yang aku karang sendiri di kepalaku. Aku meninggalkanya meskipun aku sangat menyayanginya...,,,”

Aku lalu tertegun melihat mahkluk bersayap itu. Betapa sakit lukanya. 
“Sekarang aku akan beristirahat dulu disini entah sampai kapan. Untuk membuang semua serpihan hatiku yang entah apa lagi bentuknya, entah masih ada atau tidak. Membuang sisa sisa hati yang aku punya. Dan kuharap setelah itu aku bisa menjalani hariku tanpa rasa sakit ini lagi, Atau aku akan menatanya lagi?? Ntahlah ...”

       Dia lalu berjalan pergi meninggalkanku bersama semua serpihan luka yang disimpannya rapi dalam sebuah kotak kecil berwarna biru. Ia menitipkan kotak biru yang indah itu dan sebuah kantung air mata kepadaku. Dia tak ingin memakainya lagi hingga nanti dia merasa sangat bahagia sehingga ia membutuhkanya katanya. Entah kapan...






Pergi


Anak perempuan itu tampaknya tengah menghadapi hari-hari beratnya belakangan ini. Dalam sebuah pergumulan yang dia sendiri tidak dapat mengerti. Ia terlihat sangat kuat, sangat kuat untuk keadaan yang mungkin tak pernah terpikirkan seorangpun sebelumnya. Terlihat? Mungkin saja. Karena aku melihatnya murung belakangan ini. Anak itu kemarin masih membawa beberapa helai angin, beberapa tetes embun dan sekantong serbuk matahari kemanapun ia pergi. Aku iri, bagaimana ia bisa menyatukan elemen-elemen itu dalam senyum dan lompat kakinya setiap hari. Ia selalu terlihat tertawa, hangat  tapi tidak membakar. Ia cerah tapi meneduhkan. Kombinasi yang tak masuk akal bagiku. Embun itu sering aku curi sedikit dari kantongnya. Dan jika aku beritahu, pasti ia akan menangis, tapi hanya sebentar. Dia akan menangis sembari menepuk ku. Lalu entah kenapa ia akan tersenyum lagi. Menutup matanya dan berkata semua baik-baik saja. Tetapi seperti yang aku katakan tadi, dia tak lagi seperti itu. Dia terlihat sedih. Bahkan sahabat-sahabatnya pun bisa ia kelabui dengan serbuk matahari yang hanya tinggal sedikit sekali itu. Mungkin hanya biisa ia pergunakan untuk beberapa jam lagi.Bisa ia menutupinya dengan cahaya setipis itu.
Perjalanan itu singkat tapi pasti sangat melelahkan baginya sampai ia akhirnya menurutiku dan mau berhenti sebentar mereguk air minum yang dia bawa di dalam ranselnya. Air minum itu selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Aku sendiri seringkali ingin mengambil air itu. Air itu sama saja seperti yang orang lain minum. Tetapi setiap kali ia meminumnya? Ada aliran aneh yang terlihat benar-benar mengalir. Aliran yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Aku ingin bertanya banyak hal pada anak perempuan yang terlihat sedih itu. Tetaapi aku belum berani sampai seseorang menanyakan kapan ia pergi. Aku terhenyak, ingin menangis tetapi aku tidak bisa. Pertanyaan itu.. pertanyaan itulah yang kutakutkan ditanyakan kepadanya. Pertanyaan itulah yang sangat ingin aku katakan padanya tetapi aku tidak sanggup. Pertanyaan itulah alasan kenapa saku semakin lama menatap matanya yang sendu itu setiap hari. Pertanyaan itu jugalah yang membawaku tak henti-hentinya mengikuti kemanapun ia pergi.
"Kau hanya memiliki satu hari lagi..", katanya pada seorang anak perempuan yang diam memikirkan sesuatu di bawah teriknya matahari kota itu. "Hanya satu hari untuk menyelesaikan semuanya". Anak perempuan itu merasakan buliran air mengalir dari pori-pori kulitnya yang tak berwarna lagi. Tak lagi semanis cokelat yang dulu sering diberikan sahabatnya.. Dia sangat lelah. Untuk menengadah melihat matahari pun tak kuasa. Matahari membuat retina matanya terasa sakit. Matahari yang dulu sangat ia puja-puja kehadirannya kini hanya ada untuk meyalakan rasa sakit dalam tubuhnya..
"Apa yang akan kau lakukan?" katanya lagi sembari melewati orang-orang yang melihat anak perempuan itu. Anak perempuan itu masih saja diam dalam pikirannya. Tetapi ia berhenti dengan matahari. Sekarang ia berjalan menuju sebuah tempat dimana ia biasanya datang untuk bersandar pada temboknya. Masih saja buliran air itu menetes dari keningnya.Padahal matahari sudah tak lagi menyerangnya. Ia terlihat sangat lelah, tapi raut wajahnya tetap saja tidak dapat membohongi bahwa ia sedang memikirkan sesuatu di benaknya.Dia hanya diam, tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan itu padanya. Masih saja sibuk dengan pemikirannya yang hanya ia yang tahu. Angin sore meniup rambutnya yang tergerai berwarna kecoklatan itu. Beberapa helai terlihat asing warnanya. Seperti keemasan tetapi lebih putih.Sampai sekarang pun ia tak tahu kenapa rambutnya berwarna aneh seperti itu. Yang dia tahu hanya warna itu mirip sekali dengan seorang tua yang selalu saja dikatakan mirip dengannya. Yang sudah berjalan terlalu jauh untuk melewati lika-liku hidup sehingga ia tak pernah menatap matanya yang katanya sama coklat dengan miliknya. Tapi entahlah kelihatannya dia tak akan peduli dengan hal itu, karena menurutku satu-satunya hal yang ia pikirkan sekarang hanyalah hal itu. Hal yang membuat keningnya sudah berkerut sedari kemarin.
“Kenapa kau tak menjawabku?” katanya lagi berbicara di telinga anak perempuan itu. Anak perempuan itu diam saja. Mukanya memerah. Entah malu, entah marah atau apa. Aku ingin berteriak kepada setiap hal yang memberikan pertanyaan itu kepadanya. Aku tahu ia anak perempuan itu berkecamuk hatinya setiap kali setiap pertanyaan dilontarkan kepadanya. Akhirnya ia pergi menuju sebuah pintu. Tepat beberapa detik sebelum ia membuka pintu itu, ia menangis melihatku yang tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia tersenyum tetapi tetesan keringatnya kini bercampur dengan aliran bening dari matanya yang cokelat itu.
“Terima kasih untuk tidak menuntutku seperti yang lain, terima kasih dan maaf. Aku sendiri pun tak pernah tahu semua jawaban dari pertanyaan mereka dan pertanyaan yang aku tahu ada banyak sekali di benakmu. Perjalanan ini mungkin akan menjadi yang paling singkat dan membahagiakan buatku, tetapi bukan tak mungkin akan menjadi perjalanan paling menyedihkan dan panjang untukku. Sampai jumpa lagi angin...”

Rabu, 03 Oktober 2012

Hati yang Bernyanyi



Pagi itu ,awan mendung bergerak mengikuti langkah kaki seorang putri menjejaki lalu lalang yang sangat sibuk. Seorang pengelana berhenti untuk mengamati apa yang sedang terjadi. Putri itu tertegun di sebuah tempat megah berhiaskan lampu berwarna-warnni di depannya. Ia sangat terkagum, matanya bening bulat bercahaya melihat setiap kali lampu-lampu itu berkedip dan bersenandung taktala ada orang yang masuk atau keluar dari tempat itu. Ia menatap ikan kecil di kantung plastik yang ia genggam entah semenjak kapan itu sambil tersenyum. Entah apa yang ada di pikirannya dan ikannya saat itu, yang jelas senyumnya manis, manis sekali. Putri kecil itu lalu mengajak ikannya mendekati lapisan bening yang membatasi antara tempat ia berpijak dengan lampu warna-warni itu. Sedikit lagi, sedikit lagi rasanya lampu itu akan bernyanyi dan mengedipkan matanya untuk putri kecil. Tetapi ia mengurungkan niatnya dan menatap ikan kecilnya lagi. Wajahnya berubah. Ia sedih. Ia pilu. Matanya tetap bersinar namun pilu. Ia lalu menunduk dan menangis. Ia ingin sekali memperoleh kotak-kotak atau bungkusan yang setiap kali orang-orang keluar dari tempat itu pasti dibawa. Ia ingin sekali lampu-lampu itu bernyanyi dan berkedip hanya untuknya. Ia ingin sekali masuk dan melompat di lantai putih yang selalu mengkilap di balik dinding bening itu.

Seorang bidadari menyadarkan lamunan sedih putri kecil bermata bulat bening itu. Sang bidadari memberikan senyum yang sangat manis, sangat manis kepada puti kecil yang amat disayanginya yang tersenyum kepada ikannya untuk memberitahu bahwa bidadari yang mereka tunggu telah datang. Putri kecil menitipkan ikan kecilnya kepada bidadari cantik. Ia percaya bidadari dan ikan kecilnya tak akan saling menyakiti karena putri menyayangi mereka. Putri kembali ke depan dinding bening lagi untuk melihat lampu bernyanyi. Ia tertegun, kembali mengaguminya tiada henti. Ia menatap bidadari dan ikan kecilnya dan sekarang melihat jari kelingkingnya. Kelingking kecil tidak membalas senyum putri yang selalu bersinar matanya itu. Tetapi ia terus mengamatinya. Tanpa sadar ia melangkah terlalu dekat ke arah lampu bernyanyi itu. Tiba-tiba lampu itu bernyanyi dan memainkan matanya. Putri itu menangis. Ia sangat senang. Ia melompat girang hingga sebuah suara tamparan keras mengenai pipinya yang kecil. Seorang lelaki berteriak menyuruhnya pergi. Ia terdiam. Ia ingin teriak tetapi tidak kuasa. Hanya suara-suara yang tidak jelas yang keluar dari bibir kecilnya yang ketakutan itu. Bidadari dan ikannya berlari menghampiri. Memeluk putri itu. Mata bidadari mengisyaratkan hati yang begitu terluka, tetapi ia kuat. Ia ingin putri kecil tahu bahwa ia ada untuk melindunginya. Putri berhenti menangis. Ia lalu turun dari pelukan bidadari itu dan menggenggam tanganya. Ikan kecil di kiri dan tangan bidadari di kanan genggamannya sekarang. Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu sambil tersenyum. Putri kecil memandang ke arah pengelana yang matanya mulai berbinar-binar. Pengelana itu kiranya terpukul juga jiwanya melihat peristiwa itu. Seolah menyadarinya atau mungkin sebenarnya putri kecil tahu manakala semua kejadian tadi terekam di ingatan sang pengelana, ia menoleh ke belakang. Seolah ia ingin agar cerita tentangnya tak hanya berhenti di satu hati. Hati sang pengelana. Ia ingin bernyanyi ke hati yang lain dan berharap kisahnya pun dinyanyikan lagi oleh hati berikutnya. Kisah tentang perjalanan seorang anak bisu dan terbelakang mentalnya bersama seekor ikan kecil dan seorang bidadari yang dipanggilnya ibu....

Minggu, 29 April 2012

What You Value The Most?

"There's so much they hold and just like them old stars. I see that you've come so far to be right where you are. How old is your soul? I won't give up on us even if the skies get rough. I'm giving you all my love i'm still looking up.."

       Suatu ketika seorang remaja bertanya kepada ayahnya, “ayah, kenapa tetangga kita yang hanya memiliki pekerjaan yang sama dengan ayah memiliki mobil yang lebih mewah dibanding kita, dan memiliki rumah yang lebih mewah dibanding kita?”

       Ayahnya tersenyum bijak, dan mengelus kepala anaknya,”kau benar nak, ayah dan ayah mereka memiliki pekerjaan yang sama dan memiliki gaji yang sama besar, dan mereka memiliki mobil dan rumah yang lebih mewah dibandingkan kita.”

      Ayahnya menarik nafas,
“namun pernahkah kau menyadari bahwa mobil mewah mereka itu hampir tidak pernah dipergunakan untuk berkendara, malahan mereka lebih memilih untuk menggunakan angkutan umum pada saat liburan keluarga. Sementara kita hampir selalu menggunakan mobil kita setiap minggu, dan untuk mengantarkanmu beserta adikmu kala kalian ingin bepergian, ayah tidak pernah menolak untuk menjemput kalian, ataupun mengantar kalian kemana saja yang kalian inginkan. Yah, tentu saja akan lebih boros pastinya, namun ayah tidak memerlukan mobil mewah, ayah hanya ingin mobil sederhana yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan kita.”

       Ayahnya tersenyum lagi.
“begitu juga dengan rumah mewah, memang rumah kita lebih sederhana dibandingkan mereka, namun pernahkah kau berpikir apa saja yang terhidang di meja makan mereka dibandingkan dengan apa yang terhidang di meja makan kita? Coba sebutkan makanan yang belum pernah kau cicipi di kota kita ini dan coba bandingkan dengan anak dari keluarga mereka, apakah mereka pernah menyantapnya? Dan yah, ayah juga tidak perlu rumah mewah, ayah hanya butuh rumah yang bisa melindungi kita dari siang, dan dinginnya malam. Karena ayah lebih memilih untuk menyekolahkan kalian di sekolah terbaik di kota ini, ya mereka memang memiliki rumah yang mewah, namun sayangnya anaknya hanya bersekolah di sekolah yang kurang baik.”

    “hidup adalah tentang menetapkan suatu prioritas , dan secara konsisten selalu menetapkannya sebagai suatu prioritas yang mutlak dalam hidup. Ayah tidak berkata bahwa apa yang kita lakukan lebih baik dan lebih terpuji dibandingkan mereka, namun ayah ingin menyampaikan bahwa engkau harus menemukan apa hal yang paling kau hargai dalam hidup, hal yang akan kau letakkan pada daftar teratas hidupmu, hal yang akan secara konsisten, terus-menerus kau perjuangkan, tak perduli apa kata orang. Ya, hidup adalah tentang itu, dan tentang itu saja. Untuk terus menerus memperjuangkan nilai yang kau anggap sebagai hal paling penting, sebagai hal yang paling tidak bisa diabaikan dalam hidup.”

    “Dan bagi ayah sejauh ini, hal yang paling penting untuk diperjuangkan, hal yang berada pada daftar teratas adalah keluarga. Ya, bohong jika ayah katakan ayah tidak menginginkan rumah yang lebih indah, atau mobil yang lebih mewah, namun ayah menyadari kemampuan ayah, dan dengan pendapatan yang ayah terima, ayah hanya boleh memiliki sedikit pilihan. Dan buat ayah secara pribadi, itu bukanlah pilihan yang sulit tentunya.” Jawab ayahnya sambil tersenyum lagi.
“jika ayah disuruh memilih antara menyekolahkanmu di sekolah terbaik dan memberikanmu makanan terbaik, mainan yang kau suka, liburan yang kau senangi, dibandingkan dengan mobil mewah dan rumah indah, maka tak ragu lagi ayah akan memilih pilihan pertama. Mobil akan usang ditelan waktu, mesinnya akan aus, dan lama kelamaan akan rusak, begitu juga rumah, semakin lama akan semakin dirusak oleh jamur dan hujan, serta terik matahari. Lagipula, manakah yang lebih penting? Pengendara mobil atau mobil itu sendiri? Rumah, atau penghuni rumah itu sendiri? Kita hanya menuai apa yang telah kita tabur, dan kita hanya mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang kita kerjakan, terlalu naif jika ayah memberikanmu kehidupan yang pas-pasan, makanan yang kurang baik, dan kemudian menuntutmu untuk memberikan prestasi terbaikmu, yang bisa kau berikan. Ya, ayah memberikanmu yang terbaik, yang ayah bisa berikan, dan ayah menyerahkan segalanya kepadamu, untuk menjadi seorang yang terbaik yang bisa kau capai”

      Si anak termenung lalu bertanya
“namun ayah, bagaimana kita tahu apa hal yang paling penting dalam hidup kita? Bagaimana kita tahu apa yang harus kita letakkan pada daftar paling atas hidup kita?”

       Ayahnya mengelus rambut remaja itu,
“tanya hatimu anakku, tanya hatimu,… seringkali orang mengabaikan hatinya dalam mengambil suatu keputusan. Sebuah legenda mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari tiga bagian, naluri adalah bagian pertama yang tersisa dari kita setelah kita berevolusi dari nenek moyang kita dahulu, pikiran sebagai bagian ke dua adalah hal yang kita peroleh sebagai suatu hak eksklusif dari Allah, dan bagian ketiga adalah hati nurani, sesuatu yang tersisa dari kita ketika kita diusir dari surga. Maka, kita harus secara bijak menggunakan ketiganya secara seimbang.”

  “apakah itu artinya aku harus selalu menggunakan hatiku, sebagai sesuatu bagian yang paling ilahi dalam diriku ayah?” tanya sang remaja lagi.

  “anakku, ayah tidak berkata bahwa hati adalah bagian paling ilahi dalam dirimu, kau harus menggunakan ketiganya secara seimbang. Dan dengan demikian kau akan menemukan kebenaran dalam dirimu, kebenaran yang akan membebaskanmu, kebenaran yang akan kau tempatkan sebagai prioritas utama dalam hidupmu.

Sama ketika kita melihat seorang pemuda mengemis di persimpangan jalan.

    Ketika pertama kali melihatnya, kau akan melihatnya, dan berkata bahwa ia adalah seorang yang susah, seorang yang miskin karena kau melihat pakaiannya yang compang camping dan penampilannya yang lusuh. Itu adalah kebenaran inderawi, karena kau mengandalkan inderamu.

   Kemudian, setelah menyadari bahwa ia seorang yang susah, seorang yang miskin, engkau akan tergerak untuk memberikan apa yang kau punya, karena kau merasa memiliki sesuatu yang lebih yang patut untuk diberikan kepadanya. Itu adalah kebenaran, yang lebih baik dari kebenaran pertama, kebenaran yang kita sebut sebagai kebenaran moral. Karena apa gunanya engkau tahu jika engkau tidak bertindak?

   Namun, kebenaran ketiga datang ketika engkau melihatnya, dan mengamatinya, ternyata ia sehat, tidak berbadan cacat, dan mengemis hanya karena perilaku malas. Maka kau tidak memberinya uang, dan menawarkannya sebuah pekerjaan,  untuk mendidiknya menjadi seorang yang lebih baik, seseorang yang tidak mengandalkan belas kasihan orang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkannya, itu anakku…., adalah kebenaran tertinggi di antara ketiganya, sesuatu yang kita sebut sebagai kebenaran filosofis.

   Namun untuk menemukan kebenaran filosofis, kita harus melihat lebih mendalam, mengenal lebih jauh, dan memberi lebih banyak. Untuk itu kita perlu mengorbankan lebih, namun itu adalah kebenaran yang memang sepatutnya kau perjuangkan sebagai kebenaran tertinggi dalam hidupmu anakku.”

  “bagaimana aku akan menemukannya ayah?” tanya si anak masih bingung.

  “waktu akan mengajarkanmu anakku, kau hanya perlu melihat lebih banyak, mendengar lebih banyak, , merasa lebih banyak, mengerti lebih banyak, bertindak lebih banyak, berpikir lebih banyak dan akhirnya bicara lebih sedikit. Maka waktu akan menyingkapkan ajaran kebijaksanaan tentang menempatkan kebenaran tertinggi dalam hidupmu anakku.”
Si anak mengangguk-anggukkan kepalanya. ….


 :')

Seorang remaja, mengeluh karena nilainya jelek sementara nilai temannya lebih baik dari dirinya.

“nilaimu jauh lebih baik dariku, bagaimana mungkin?”

 “aku belajar jauh lebih keras darimu teman, ketika kau masih asyik bermain dan menghabiskan hari-harimu dengan melakukan sesuatu yang kau sukai. Aku tenggelam dalam buku pelajaranku, namun yah, aku tidak menyalahkanmu, seorang bijak pernah mengatakan kepadaku ‘hidup adalah tentang menetapkan suatu prioritas , dan secara konsisten selalu menetapkannya sebagai suatu prioritas yang mutlak dalam hidup.’ya, kita hanya menabur apa yang kita tuai, we get what we deserve.” katanya tersenyum penuh makna, sambil mengingat orang bijak yang dimaksudkannya…







 
"And when you're needing your space to do some navigating, i'll be here patiently waiting to see what you find, cause even the stars they burn some even fall to the earth. We've got a lot to learn, God knows we're worth it. No, I won't give up....."  






Jumat, 27 April 2012

Surabaya 23 Desember 2011

Surabaya, 23 Desember 2011
    Selamat pagi,

     Bagaimana kabarmu disana? Sudah sekian lama aku tak mendengar suaramu sahabatku. Masihkah banyak kau simpan cerita seperti kemarin? Ataukah masih sering terbawa perasaan seperti yang dulu? Hahaha, aku masih ingat bagaimana semuanya bisa membuatmu sangat bingung hanya ketika kau menghadapi suatu masalah kecil yang ku dan kau sebut perasaan. Aku tahu semuanya bisa dengan sangat cepat mmeluluhlantakkanmu, tapi kemudian aku akan berbisik kau harus kuat. Terima kasih untuk semua itu, jawabmu..



     Kupikir sekarang kau sedang bersedih dan bergalau ria. Tak apa kawan. Kau mungkin memang harus melewati masa-masa itu agar kau dapat belajar.  Aku tahu betul bagaimana keadaanmu saat ini. Merasa terasing bukan? Merasa semuanya begitu jauh, semuanya begitu membebanimu? Ah, baiklah... Aku memahaminya. Kau sedang merindukan adikmu bukan? Yang selalu saja ribut denganmu. Yang selalu saja dibangga-banggakan hingga terkadang kau iri padanya, yang sering memarahimu seolah tak mempedulikan kau itu kakaknya, dan sepantasnya dia memanggilmu begitu, bukannya dengan nama kecilmu yang tidak kau suka. Tahukah kau kenapa kau merindukanya? Menurutku karena ia sering ribut denganmu untuk menyita perhatianmu padanya. Kupikir dia mengagumimu jauh di lubuk hatinya sampai satu ketika kau tahu kan? Dia bercerita tentangmu di hadapan semua orang tentang bagaimana kakaknya yang hebat itu menjadi sebuah inspirasi baginya. Bagaimana ia begitu ingin menyaingimu tapi ia menganggap kau terlalu sempurna. Atau mungkin karena ia memanggilmu dengan nama kecilmu hanya agar kau mengerti ia ingin kau dan dia berbeda. Dia tidak mau sama dengan adik-adikmu yang lain yang juga memanggilmu kakak. Yang juga kau panggil adik. Dia ingin menjadi adikmu yang spesial, yang mempunyai hubungan khas denganmu. Yang hanya ingin kau seutuhnya disana ketika ia menangis. Ia ingin kau selalu melindunginya.


       Atau mungkin kau sedang memikirkan kedua kakakmu? Yang begitu sering memarahamimu? Hahahha, mereka sangat cerewet. Katamu ketika itu padaku. Terkadang hal-hal yang menurutmu tidak penting pun mereka permasalahkan. Yang begitu menyebalkannya melarangmu berteman dengan sahabat-sahabatmu dan membatasi semua gerak-gerikmu. Atau, oiya, aku hampir lupa. Yang terkadang terlalu berlebihan menghubungimu padahal ketika kau merasa benar-benar membutuhkan mereka, mereka tak ada di sampingmu? Hei.., kau ingin tanya pendapatku? Menurutku mereka hanya begitu menyayangimu. Dia memarahimu untuk mengingatkanmu bahwa lingkungan akan jauh lebih menyakitimu jika mereka tidak melatih mentalmu sebelumnya. 


     Mereka memanjakanmu! Percayakah kau padaku? Aku masih ingat ketika kau merasa sangat senang mereka memberimu rompi dan baju hangat yang sangat kau sukai. Tetapi kemudian kau kehilangan rompi itu sampai menangis semalaman. Mereka memarahimu lagi, tapi sadarkah kau apa yang sebenarnya mereka lakukan? Mereka ingin kau tak terus menerus menangisi segala sesuatu yang harus pergi meskipun kau sangat menyayanginya. Mereka ingin membuat adiknya kuat. Itu hanya hal yang sangat sederhana dibandingkan hal-hal yang harus kau lepas  meskipun sangat kau sukai nanti. Mereka tidak memberimu cokelat saat valentine kecuali kau memintanya? Ya, itu karena mereka tahu, mereka mengenal bahwa adiknya tidak begitu suka cokelat. Mereka mengenalmu sampai hal sekecil itu. Mereka yang  terakhir kali mengucapkan selamat ulang tahun padamu, tapi mereka yang pertama kali ada saat kau merasa terjatuh dan menangis. Mereka memang memberi komentar pedas tentang pekerjaanmu, memerintah dan menegaskan kesalahanmu? Tahukah kau mereka hanya ingin kau menjadi yang terbaik, mereka tak ingin orang-orang menganggapmu remeh hanya karena kesalahan kecil yang mereka tahu  tidak sengaja kau lakukan. 

      Mereka menerimamu sebagai adik mereka apa adanya. Tapi orang-orang menuntut lebih dari itu sahabatku. Mereka menginginkan kesempurnaan. Justru di saat kau menangis letih, ketika kau sakit, ketika kau ingin menyerah, mereka lebih terpukul darimu. Tahukah kau merkea mendoakanmu dimanapun mereka berada? Tahukah kau betapa mereka ingin menguasai semua pelajaranmu agar mereka sanggup mengajarimu tentang hal itu? Dan mengenai sahabatmu. Kupikir mereka hanya ingin membuka matamu bahwa terkadang kau terlalu lugu. Yang mudah saja percaya kepada orang lain tanpa berpikiran buruk terhadap mereka. Justru orang-orang itu akan menyakitimu pada akhirnya. Mereka ingin kau sadar akan hal itu. Mereka tdak ingin lagi melihatmu menangis ketika dulu teman-temanmu menyakitimu bertubi-tubi. Ketika mereka tahu, kau tidak salah, hanya saja orang- orang yang kau sebut teman itu tak sanggup menerima kejujuranmu, mereka tak sanggup menerima hati tulusmu, mereka terlalu munafik untuk menganggap mereka itu sempurna, dan mirisnya kau malah terkadaang lebih meyakini orang-orang seperti itu daripada mereka. Tapi tenanglah. Pundak mereka akan selalu ada untukmu.
 

            Atau kau merindukan masakan ibumu? Yang entah kenapa selalu membuat perutmu hangat meskipun itu disajikan dingin? Yang selalu terlihat spesial sesederhana apapun itu? Ya terkadang memang ia sangat meyebalkan. Tidak memberimu waktu untuk pergi bermain bersama teman-temanmu. Tidak memperbolehkanmu melakukan hal-hal yang kau suka. Atau selalu membandingbandingkanmu dengan orang lain. 

        Tahukah kau kawan? Semua hal itu tak membuatku lupa betapa baiknya dia. Saat ia tidak memperbolehkanmu kemana-mana ia hanya ingin kau berada di dekatnya selama mungkin. Selama ia bisa, ia berharap dapat melihatmu setiap detik. Ia ingin memastikan apakah kau sudah makan. Ia ingin merapikan rambutmu. Ia ingin melihatmu tertidur dan tertawa di dekatnya selama ia bisa. Ia tidak pernah melarang hal-hal yang baik yang akan kau lakukan. Hanya saja terkadang seperti yang aku katakan tadi kau sangat lugu untuk mengetahui mana yang baik dan yang buruk untukmu. Berapa tahun kau telah mengenal dirimu sendiri? Berapa tahun? Tujuh? Sepuluh? Atau delapan belas tahun? Dia mengenalmu sembilan bulan lebih daripada waktumu! Ia mengenalmu semenjak kau merupakan sebuah titik yang dipercayakan Tuhan di rahimnya. Ia mengenal proses perubahanmu seutuhnya. Kau harus mengerti itu. Dia hanya memberimu arah, bukan menginginkanmu jadi orang lain.  Jika ada orang yang benar-benar mencintaimu apa adanya sampai akhir hayatnya, dialah yang kau cari. Tak ada yang sekuat itu menerimamu dalam kondisi apapun.

           Aku hanya berpikir kemungkinan lain kau ingin melihat ayahmu pulang di depan pintu rumah. Menyambutnya dengan pelukan dan bercerita bagaimana hari ini telah berlalu. Ia akan sesegera mungkin menggendongmu ketika kau masih kecil meskipun ia sangat lelah dan memberikan roti kecil yang seharusnya ia makan saat beristirahat sejenak dalam pekerjaanya. Kau tahu kan? Selain sebagai roti kegemaranmu, roti itu juga kegemaran ayah? Tapi ia tidak memakannya karena ia tahu putri kecilnya di rumah akan tertawa sembari memakan roti itu dan meneguk air hangat seduhan ibunya. Dan sekarang? Ia tak pernah berhenti melakukanya. Ia tetap menopangmu meskipun ia terpukul melihatmu gagal atau menangis. Ia ingin putri kecilnya tahu ayah akan selalu ada di depan pintu rumah untuk menggendongmu. Ayah tidak pernah mengajariku belajar, ia tidak pernah memikirkan perencanaan ke depan, ia sering beradu pendapat denganmu dan meledekmu di depan saudara  saudarimu. Ia mengerti betapa ilmunya tidak mampu mengajarimu. Tapi ia berusaha keras mengajarimu bagaimana caranya belajar. Ia tidak memiliki sederetan gelar yang akan ia banggakan padamu, karenanya ia hanya ingin mengajarimu bagaimana hidup itu akan begitu mengasahmu. Ayah tidak ingin memandang terlalu jauh ke depan karena melihatmu berdiri tegar saja setiap hari sudah merupakan karunia yang  tak ternilai baginya. Ia sering beradu pendapat denganmu karena ia sangat takut untuk membiarkanmu teriris oleh tindakanmu sendiri. Ia tidak sanggup melihatmu terkulai lemah atau berbuat kesalahan yang mungkin pernah ia lakukan di masa mudanya dulu. Setidaknya dia ada untuk mengajarimu tidak melakukan kesalahan. Ia ingin membuatmu kuat dengan meledekmu di hadapan orang lain. Agar kau dapat membuktikan perubahan-perubahan besar yang kau lakukan di hadapan mereka. 


         Oh, iya. Kau juga harus ingat bagaimana sendunya wajah ayah ketika ia lalai menjagamu saat makan dulu dan membuatnya hampir kehilangan putri kecilnya. Kau tidak tahu bagimana tanganya yang terbiasa kekar dan kuat terhadap dentingan logam dan besi gemetar terlipat menundukkan kepalanya di belakang dokter yang berusaha mempertahankan nyawamu. Seharusnya matamu terbuka kala itu untuk melihat ia berusaha keras menahan buliran airmatanya dan berkata pada ibumu semua akan baik-baik saja. Tetapi pada akhirnya apa? Dia menangis kawan. Dia yang begitu kuat menghadapi apapun menangis melihat putrinya berada di ambang maut selama lebih dari lima jam. Lima jam itu sangat lelah dan menyesakkan baginya. Kau bisa saja terawang-awang kala itu kawan. Antara ada dan tidak dengan kami di ruangan itu. Ayahmu diam, tidak seperti ibu yang terus menerus menyebut namamu dan menggenggam tanganmu. Ia diam karena ia sedang benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia bahkan tak sanggup untuk berbicara sepatah katapun melihat kau tidak bergerak sama sekali, melihat bibirmu mulai memudar warnanya dan mendengar ibumu memanggil manggil namamu. Mungkin sekarang kau telah menemukan kelemahan ayahmu. Kau berhasil menyentuh titik terlemah sekaligus terkuatnya. Ia akan kuat ketika kau mengajaknya bertengkar tetapi dia akan jauh menjadi sangat lemah saat melihatmu terbaring.

            Kawan, surat ini telah begitu panjang. Semua pertanyaan yang kuajukan hanya kau sendiri yang dapat menjawabnya. Surat ini aku kirimkan dengan ucapan "Selamat natal". Semoga damai natal besertamu sahabatku. Mungkin aku membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi untuk menuliskan apa yang seharusnya aku katakan padamu. Begitu banyak hal yang ingin aku ungkapkan. Terimakasih untuk telah membaca surat kecil ini sebentar saja. Kuharap kau selalu bercerita padaku lagi saat kau membutuhkannya. Karena aku akan selalu ada disini untukmu.....






Regrads,



Your Little Heart



Rabu, 25 April 2012

Diam Saja

Aku tahu dia melihatku dari sana

Tapi aku hanya diam.

Aku tak ingin melihatnya karena itu tak akan lama

Aku tak ingin memandangnya karena nanti aku akan tambah merindunya

Aku tak mau berbicara denganya karena aku tahu itu akan menjadi terlalu singkat

Aku ingin dia ada disini lama

Tanpa perlu ada kata waktu yang harus memisahkan kami

Aku tak ingin mendengar jelas tawanya

Itu akan membuatku menangis ketika aku menyadari dia telah berbeda nantinya

Aku hanya ingin apa??

Aku hanya ingin  tetap memperhatikan mengasihinya dalam diam...

Senin, 23 April 2012

Surat Untuk Mamak..

            May be surrounded by a million people,  I still feel all alone I just wanna go home I miss you, you know. And I’ve been keeping all the letters that I wrote to you. Each one a line or two, “I’m fine baby, how are you?” Well I would send them but I know that it’s just not enough. My words were cold and flat and you deserve more than that. Another aeroplane, another sunny place.I’m lucky, I know but I wanna go home.  I’ve got to go home. Let me go home. I’m just too far from where you are, I wanna come home...(Michael Buble - Home)

         Hari-hari terasa begitu memberatkan belakangan ini, tugas, deadline, dan masih banyak lagi yang lain. Jemu rasanya menghadapi layar laptopku, menemui relasiku dan menjalani hari-hari di perantauan. Entah kenapa tiba-tiba terlintas untuk menulis surat pada seseorang di kampung. Seseorang yang mungkin sekarang sedang menghadapi masa-masa sulit menghadapiku. Seseorang yang mungkin sedang memasak makan siang sembari memikirkan apakah aku sudah makan hari ini. Seseorang yang mungkin sedang menonton TV tetapi hatinya bertanya apa yang sedang aku lakukan sekarang. Seseorang yang mungkin sedang tidur tapi matanya tiba-tiba terbangun mendoakanku. Terasa helaan nafas terhembus pelan dari rongga hidungku. Mamak...
        Aku mengambil selembar kertas dari binder catatan kerjaku. Beberapa kertas catatan kecil mengenai jadwal dan pekerjaan yang harus kulakukan terjatuh. Ketika kupungut, terasa ada yang aneh  di  hatiku. Hampa. Aku mengambil pena, tetapi sesaat kemudian bingung, tak tahu apa yang harus aku tuliskan pada seorang tua ini. Akhirnya perlahan aku mulai menulis, 
Selamat pagi, Mak,
       Apa kabar di kampung? Mengagetkan kah menerima surat ini? Apa yang terjadi padaku? Angin apa yang membawa surat kecil ini padamu? Tenang Mak, aku baik baik saja. Paling tidak lebih baik daripada sebelum aku memulai menulis surat ini. Tak tahu harus memulai tulisan ini darimana Mak. Aku sedang bingung. Tahukah Mamak, saat aku menulis surat ini, aku sedang diburu waktu. Begitu banyak tugas yang harus aku selesaikan. Begitu banyak deadline yang harus aku jalankan. Begitu banyak yang harus aku kerjakan. Yang ini, yang itu, yang disana, yang disini dan segudang pekerjaan yang rasanya tak ada habisnya Mak..
      Helaan nafasku terasa begitu berat di ruangan kecil ini. Lelah yang kurasakan sepertinya menekan rasa sakit di perutku. Ah, mamak... Saat-saat seperti ini juga mengingatkanku kembali pada sup favoritku. Sup jagung buatan Mamak yang selalu dihidangkan ketika aku di rumah. Sup yang memberikanku kehangatan dan rasa manis yang selalu menenangkanku. Sup yang kami jadikan bahan rebutan bersama abang dan adik di kampung.
        Mak, bagaimana keseharianmu disana? Masihkah sering memasak makanan sambil memikirkan kami di perantauan? Hahaha.. Seandainya Mamak tahu setiap aku makan belakangan ini, aku mengingat Mamak.  Aku harap sanggup mengatakan pada Mamak di telepon bahwa aku ingin sup hangat buatan Mamak disini , terlebih lagi ketika perutku terasa nyeri. Tapi tidak aku lakukan karena itu akan sangat menyiksamu. Kau pasti rasanya ingin segera terbang kemari untuk memasaknya sebanyak yang aku mau. Kau pasti akan bangun sepagi mungkin untuk mulai mempersiapkan bahannya. Kau lelah, tetapi tidak akan memikirkan kesehatanmu saat sup hangat itu menyentuh kerongkonganku. Seandainya bisa mendengar Mamak menanyakan rasa makanan yang kau buat atau mendengar Mamak mengatakan bahwa lauk  makan malam kita hanya ikan asin, tetapi tetap menghidangkan lebih dari itu saat aku di rumah? Mamak tak akan pernah melakukanya. Aku tahu, kesempatan berkumpul di rumah adalah sesuatu yang langka dan kau  tak akan pernah melewatkanya untuk menjadi koki terbaik sepanjang masa bagiku dan kami semua. 
          Hahahahha... aku juga ingat, Mak, dulu ketika aku masih ada disana, sore hari adalah saat-saat paling menyenangkan di rumah. Aku, Abang, dan Adik akan mengikuti Ayah pelan-pelan mengambil mangkuk dan sumpit dari dapur. Mengendap-endap ke dapur melirik sayuran dan ikan yang baru saja kau masak. Memenuhi mangkuk kami dan berlari ke ruang tengah kita yang kecil, menikmatinya sembari menonton film kartun kesukaan kami. Kau akan menegur kami, Mak. Tetapi aku tahu kau tidak akan tega melarang kami.
         Kembali kuhela nafasku tertahan. Ada perasaan sesak di dadaku. Kuletakkan sejenak penaku. Meminum air putih dari mug kecilku. Sesak itu terasa semakin kuat. Aku mengoleskan minyak dari Mamak. Minyak yang Mamak titipkan ke dalam tasku tanpa sepengetahuanku dulu ketika berangkat ke kota ini. Mamak tahu betul apa yang kubutuhkan, yang benar-benar akan kubutuhkan! Minyak itu memberikan aroma harum yang cukup menenangkanku, nafasku perlahan terasa normal. Kembali aku duduk dan menatap suratku.
         Mak, aku sangat ingin tahu apa yang sedang kau lakukan sekarang disana. 
         Masihkah termenung sendiri melihat fotoku ketika masih kecil yang terpajang di ruang tamu kita? Ruangan kecil tempat aku, Mamak, Bapak, Abang dan Adik sering bersama beberapa tahun lalu. Lama sudah kita tak seperti itu lagi kan, Mak? Dimulai ketika Abang melanjutkan studinya ke kota sebelah. Disusul aku dan yang lainnya. Perlahan kami mulai mengayuh mimpi kami di dunia nyata. Mewujudkan harapan-harapan kecil yang dulu kami tuliskan untuk Mamak. Masih sangat jelas di ingatanku Mak, ketika Mamak meminta kami menuliskan mimpi kami di selembar kertas dan menceritakanya. Mamak akan memberikan hadiah uang saku bagi karangan kami dan  karanganku Saat itu Mamak memberiku uang saku lima ribu rupiah. Harga yang sangat mahal menurutku kala itu untuk sebuah tulisan sederhana tentang anganku membawamu dan Bapak pergi mengelilingi dunia. Kau sangat bangga dan tertawa kala itu. Tawamu khas. Hingga air mata hampir jatuh di pelupuk matamu. Sekarang aku mulai sadar, Mak. Ternyata mimpi ini sangat mahal. Aku tak pernah membayangkan ternyata mimpi yang aku buat itu sama sekali tidak sesederhana yang aku bayangkan saat itu. Aku mulai menyadari kenapa kau hampir menangis kemarin. Dulu aku tak pernah membayangkan Mak, betapa beratnya perjuangan untuk mimpi itu. Betapa aku harus menjalani semua ini. 
              Aku ingat hari dimana kau mengajak aku, Abang dan Adik untuk mendoakan mimpi-mimpi kami satu sama lain. Berharap agar kami diberikan cukup kekuatan dan kesabaran untuk menggapainya. Hal itulah yang terkadang membuatku terhenyak, Mak. Di masa-masa sulit seperti saat ini. Teriakan semangatku dulu, doa kecilku dulu, harapanku dulu, ingin rasanya kembali mendapatkan perasaan itu.  Jatuh cinta pada sekolahku, pada apa yang aku kerjakan dengan setulus hati. Sekolah pertamaku dulu, Mak? Bahkan aku berangkat satu jam lebih pagi dari jadwalku. Hahaha, betapa lugu dan bersemangatnya aku dulu. Kau hanya tersenyum mengantarkanku ke sekolah yang masih kosong. Kita menunggu berdua disana. Menunggu orang-orang yang menurutku sangat lambat. Aku ingin segera mewujudkan mimpiku, aku ingin segera berlari, aku ingin segera terbang dengan pesawat impianku, aku ingin segera, kenapa kalian tidak begitu? Pikirku dulu pada orang-orang di sekitarku.  Tetapi dunia berputar Mak. Kini mereka yang menuntutku bekerja jauh lebih cepat. Mereka menginginkan aku berlari dan berlari. Mereka tidak memperbolehkan aku istirahat Mak. Padahal aku dulu sering melarikan diri ketika kau dengan lembut mengajakku tidur siang. Mereka tak peduli dengan apa yang aku rasakan. Ketika aku merasa dunia ini asing, tidak ada lagi yang memberikan cubitan sampai aku menangis agar aku menyadari kesalahanku dan kemudian membelai rambutku sembari menghapus airmataku untuk mengatakan ia hanya ingin yang terbaik untukku. Tak ada lagi yang mengingatkanku menangis  tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada lagi yang beberapa menit kemudian menyeduhkan teh untuk melarutkan isak tangisku.
            Aku menarik nafas panjang lagi. Denyutan di kaki kananku terasa lagi. Kulirik jam di layar laptopku. Pantas saja, kataku dalam hati. Ini sudah waktunya aku meminum obat pereda rasa sakit yang diberikan dokter beberapa hari yang lalu ketika aku terjatuh di depan tangga kamarku. . Seandainya obat itu pun tak hanya untuk kaki tetapi juga untuk hatiku.
          Mak, berapa lama lagikah kita akan bertemu? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan? Aku ingat Mak, ketika pertama kali aku pergi dari rumah. Mamak menanyakan akankah aku menangis ketika berpisah denganmu? Tidak mungkin jawabku tegas. Aku kuat! Kataku pada mamak. Tetapi nyatanya ketika suratku sampai di sini saja, mataku terasa berat. Aneh ya, Mak? Membayangkan putrimu yang badung ini ingin menangis? Ya, Mak. Entah kenapa terlintas lagi di kepalaku saat di bandara Polonia dulu. Sepanjang perjalanan kita masih berdebat dan bertengkar. Mamak masih saja terus memarahiku dengan alasan yang terkadang tak kumengerti. Di gerbang keberangkatan aku menyalami dan mencium tanganmu. Tetapi aku tak melihat wajahmu. Kau memarahiku saat itu Mak, dan saat-saat itu sangat menyebalkan bagiku. Penerbangan pertamaku berlangsung tiga jam. Dan terakhir kali aku melihatmu dari jauh duduk bersama abang. Abang melambaikan tanganya tetapi kau tidak. Namun, aku tak memikirkan apapun tentang itu. Mungkin kau masih marah, pikrku. Aku baru tahu beberapa hari lalu dari Abang Mak, bahwa saat itu kau menangis. Jujur aku awalnya tak percaya Mak. Mengingat situasi kita saat itu. Namun aku sepertinya mulai sadar arti tangisanmu sekarang. Kau sudah bisa menebak dunia di luar ini sangat keras padaku. Dunia ini akan menggerusku, kau tahu itu dan rasanya pasti sangat menyakitkan. Kau ingin ada untuk mengobati lukaku, kau ingin ada untuk membuatku menangis terlebih dahulu agar dunia tidak perlu membuatku menangis, kau ingin memasak makanan kesukaanku agar dunia tidak membuat perih asam lambungku, kau ingin mengoleskan aroma terapi ke punggungku agar tidak ada yang berani menyentuhku setitik pun, kau ingin ada disini Mak. Aku rasa aku akan  mengatakan, itulah yang membuatmu memarahiku tetapi kemudian menangis di bandara dulu.
    Mak, aku cukup sehat untuk menuliskan surat ini padamu, surat yang mengungkapkan semua isi kepalaku yang tak bisa kutuangkan pada siapapun selain padamu, hanya saja kakiku masih sedikit sakit. Kemarin dokter mengatakan tidak ada masalah dengan pertulangan kaki kananku pasca jatuh dari lantai dua rumah tinggalku. Jangan khawatir lagi ya, Mak. Sekarang aku baik-baik saja meskipun keadaanku jelas berbeda dibandingkan dulu. Aku kecil pernah terjatuh kan, Mak di tangga kecil depan rumah kita? Saat itu aku betul-betul kesakitan. Tapi kau langsung datang menggendongku ke rumah, membujukku untuk berhenti menangis dan mengobatiku  pelan-pelan. Terasa sangat sakit ketika kau menyentuhnya dulu. Kau melarangku untuk berlari. Salah satu kegiatan kesenanganku. Aku marah dan menangis kala itu. Aku menangis melihat anjing kecilku duduk di depan teras  menungguku berlari. Sebulan lebih kau menjagaku untuk tidak memanjat pohon, untuk tidak menaiki tangga, untuk tidak bersepeda dan untuk tidak bermain tanpa alas kaki dan tanpa ada yang mengawasiku. Semuanya dulu terasa menyebalkan Mak, hingga kemarin aku terjatuh lagi. Dokter mengatakan aku harus istirahat total di kamarku, kakiku terasa sangat sakit. Tetapi, begitu banyak yang harus kukerjakan. Begitu banyak hal yang harus kukejar, begitu banyak target yang harus kucapai,begitu banyak antrian yang harus kulewati, dan semuanya menegaskan bahwa aku tidak dapat berdiam di kamar Mak. Mak, saat itu aku menangis. Kuharap mamak ada disini memarahiku dan memegangi kakiku sampai terasa sakit, karena sekarang rasanya tanpa kau menjadi sangat sakit. Tidak ada yang mengawasi langkahku Mak, bahkan  ketika aku terjatuh. Tidak ada yang mengecek keadaan perkembangan kakiku setiap hari seperti dulu. Tidak ada yang mempersiapkan apa yang aku butuhkan di dekatku agar aku tidak bergerak terlalu banyak seperti kau. Tidak ada yang mencoba meyakinkanku bahwa aku bisa berlari lagi dengan beban apapun di pundakku, melangkah dengan begitu banyak rintangan di hadapanku atau untuk menari meskipun kakiku terasa sakit.

          Mak, pernah terlintas dikepalaku untuk menyerah dan kembali ke rumah kita. Rumah yang akan selalu menyambutku separah apapun keadaanku. Rumah yang pintunya akan selalu terbuka untuk langkah letihku. Rumah, tempat dimana aku selalu bisa menemuimu. Aku tahu, Mak. Hatimu akan hancur mendengar perkataan menyerah dariku. Karena itulah aku harap aku tak akan pernah menyerah pada keadaanku ini. Kau sudah sangat baik kepadaku dan aku berhutang banyak padamu. Budi, jiwa, semuanya, dan aku tidak mau menghancurkan hatimu dan hatiku. Aku tak ingin melukaimu, Mak.  Aku masih akan berlari dengan kaki sakitku untuk meraih mimpi kecilku dulu. Aku akan coba untuk menyadari kehadiranmu secara utuh di hatiku meskipun tidak dengan ragamu. Aku akan berlari hingga angin membelai rambutku meski tak selembut belaianmu padaku. Doakan aku, Mak agar aku menjadi bijaksana dalam keputusan-keputusan yang akan aku pilih sendiri tanpamu di hidupku. Aku akan baik-baik saja, Mak. Dan aku harap kau pun begitu bersama Bapak disana.
        Aku menahan buliran air yang terasa ingin jatuh dari balik kacamata minusku. Karena aku sangat yakin sanggup untuk menahannya. Aku tak mau suratku kotor atau basah. Aku ingin mengirimkan surat tanpa air mata pada Mamak di kampung, karena aku harap  Mamak tidak menangis lagi untukku.

       Mak, aku juga menuliskan surat ini untuk mengucapkan terima kasih kepadamu. Terima kasih telah memberikanku kenangan manis di setiap luka yang aku hadapi. Terima kasih untuk selalu ada untukku ketika aku jatuh, Terima kasih untuk kau telah ada untukku.  Mak, suratku sudah sangat panjang. Matamu pasti sudah berair membacanya. Jika adik disana, kuharap ia bisa membacakanya untukmu sehingga matamu tidak berair dan memerah karena membaca terlalu lama. Aku juga harap Mamak tidak menangis lagi seperti di bandara dulu. Aku baik-baik saja, Mak. Salam untuk Bapak dan yang lainnya,
Putrimu, Margaretha..
      Tak lama teleponku berdering. Dengan langkah tertatih aku hampiri. Air mataku tidak dapat kubendung lagi .. 
          “Halo, Mak!”  kataku, “ Aku merindukanmu.....”


"...my beautiful mother, she told me, " in life you’re gonna go far, and if you do it right you’ll love where you are. Just know, that wherever you go, you can always come back home"sometimes it may seem dark, but the absence of the light is a necessary part. Just know, you’re never alone, you can always come back home. Every road is a slippery slope there is always a hand that you can hold on to.
Looking deeper through the telescope you can see that your home’s inside of you
. Just know, that wherever you go, no you’re never alone, you can always get back home.."


*Mamak = Panggilan untuk Ibu