Suatu senja aku berjalan melewati sebuah sungai kecil di pinggiran kota
tempat aku hidup. Aku berjalan perlahan dan kemudian melihat seekor burung
kecil termenung di dekat sebuah pohon..
“Apa yang sedang kau lakukan??” tanyaku.,
Dia lalu menengadah ke langit dan menundukkan kepalanya kembali.
“AKU MENCINTAI SEEKOR ELANG..” katanya lirih..
“Suatu hari aku hanya memperhatikanya
dari sini, dia begitu indah. Begitu gagahnya melayang di angkasa dan omong
kosong jika aku berkata tidak mengharapkannya untuk sejenak melihatku. Aku
menunggu meski dia tak tahu. Aku mengharapkan sekalipun dia tak menginginkanku.
Ia terus berada jauh di atas sana, melayang di angkasa. Dan aku sangat
mengaguminya dari sini, hingga akhirnya ia menukik ke arahku. Betapa aku merasa
luar biasa perhatianya tertuju padaku, betapa semua itu membuatku terasa
melayang jauh melebihi batasan kemampuanku. Hingga aku menyadari semuanya hanya
seketika sampai ia menyakitiku. Sebentar saja dia ingin memangsaku. Semakin dia
mendekatiku semakin aku merasa terluka akan semuanya. Ternyata semuanya tak
seperti yang aku harapkan...
Aku lalu menyadari kesalahanku dan pergi meninggalkanya dengan penuh luka.”
“Betapa itu sangat menyakitkan” kataku.
Dia lalu melanjutkan ceritanya lagi...
“Ada yang lalu mencoba mengobati lukaku.
Perlahan dia balut luka luka di tubuhku. Tapi aku tak cukup kuasa untuk
terbang. Aku tak cukup kuasa untuk memandang langit lagi. Tak kuasa untuk
mellihat elang yang lain. Ia membantuku berjalan di tanah melewati hari-hari
beratku, ia tak pernah menuntutku untuk terbang tinggi seperti elang dulu, ia
ada untuk selalu tersenyum anggun kepadaku, ia ada untuk memperingatkanku untuk
tidak mengingaat-ingat luka yang pernah aku terima”.
“Butuh waktu yang tidak singkat sampai
aku menyadarinya,
"AKU TELAH JATUH HATI PADA SEEKOR MERAK..”
“Aku mencoba memberi dari segala
kekuranganku. Dia membuatku bahagia dengan hal kecil yang ia lakukan. Aku sangat
menyayanginya. Tetapi sebentar saja ia berubah. Bukan lagi dia yang selalu
tersenyum anggun untukku tetapi untuk kepongahan nya. Dia sangat dikagumi
banyak orang. Dia lebih memilih untuk
mengorbankan perasaanya daripada bulu indahnya. Dia tak pernah sedetik pun
lepas mengawasi mereka. Aku menyayanginya dan mencoba mengerti akan hal itu.
Tapi apa yang kudapat? Suatu ketika ia datang menghampiriku dan berbicara bahwa
dia hanya ingin berkata bahwa dia menyayangiku, tapi tidak dengan cara ini. Dia
menyayangiku tetapi tidak ingin perhatian terhadap bulunya berkurang. “Sudahlah...”
katanya, “Aku mencintaimu... tapi ini sudah berakhir...’’
“Ini menyakitiku
lebih dari kemarin. Semakin aku menyayanginya, semakin sakit terasa. Dia tak
pernah mau tahu apa yang kurasakan. Ketika aku lelah mengikutinya kemanapun
untuk memperlihatkan bulu indahnya atau ntahlah dia mungkin tak peduli dengan
apa yang aku rasakan.
Semakin
lama aku semakin terluka. Terluka akan segala hal yang pernah kualami. Terluka
pada semua yang entah mengapa harus aku lalui. Aku lelah, sangat lelah... Ketika
aku merasa sangat sakit dan terluka aku harus tetap menjalani hidupku. Ketika
aku menangis aku harus tetap berlari meskipun arah tak lagi jelas kulihat, “Sudahlah..
“ ,katanya suatu hari “ Aku tahu kau mencoba bertahan dalam lukamu
mendampingiku. Tapi semuanya benar-benar harus berakhir kali ini. Entah itu
membutuhkan alasan atau tidak. Entah kau menerimanya atau tidak, yang jelas aku
akan pergi. Selamat tinggal semoga kau bahagia”. Dan begitu saja dia
benar-benar meninggalkanku yang berusaha memahaminya dengan sangat. Hal itu
membuatku benar-benar merasa kosong. Aku tak mengerti mengapa semua terjadi
seperti itu. Aku tak mengerti mengapa aku memberikan semuanya setulus hatiku
tetapi kemudian ini yang aku dapatkan. Aku tak mengerti...”
Burung kecil itu lalu menatapku dan
tersenyum menitikkan air matanya...
“Kemudian aku
berkenalan dengan seekor nuri kecil. Aku mengenalnya ketika berkali-kali luka
itu telah kudapat. Dia berbeda. Dia sederhana. Tapi ada yang lain darinya. Yang
membuatku ingin tertawa setiap kali melihatnya meloncat dari satu dahan ke dahan
yang lain. Yang bisa menertawakan aku ketika melihatku terjatuh saat hendak
terbang lalu kemudian datang menghampiri untuk memberikanku sebuah senyuman
yang meyakinkanku dia ada di
perjalananku, Dia menyayangiku dan tidak memaksaku. Dia bahkan sering membuatku
bingung dengan kata-katanya yang berantakan. Kami berbeda. Sangat berbeda. Dia
juga bukan seekor nuri yang begitu pintar untuk kuajak berdiskusi tentang
permasalahan yang kuhadapi. Tetapi dia
selalu ada untuk mendengarkanku.
"AKU JATUH CINTA PADANYA...SEEKOR NURI.."
Tapi
apa yang kurasa? Aku kecanduan. Ketika aku menginginkan suaranya dia ada
beberapa kali dan ketika tidak itu jauh lebih menyakitiku. Ketika aku ingin
merasakan hangat tawanya bersamaku malah membuatku menginginkannya seutuhnya.
Dia memberikan segala apa yang aku mau, dan ketika aku menginginkan hal kecil
sementara dia tidak menyadarinya, membuatku sakit.. Ntahlah apa yang kuinginkan
padanya benar atau hanya pelampiasan egoku yang terus disakiti. Bodohnya aku
malah menjauhinya. Membiarkan ia terlepas dalam tanyanya. Aku tahu dia pasti
sangat terluka karena aku pun merasakan luka yang sama. Tapi aku tetap
meninggalkanya dengan segudang alasan yang aku karang sendiri di kepalaku. Aku
meninggalkanya meskipun aku sangat menyayanginya...,,,”
Aku lalu tertegun melihat mahkluk bersayap itu. Betapa sakit lukanya.
“Sekarang aku akan beristirahat dulu
disini entah sampai kapan. Untuk membuang semua serpihan hatiku yang entah apa
lagi bentuknya, entah masih ada atau tidak. Membuang sisa sisa hati yang aku
punya. Dan kuharap setelah itu aku bisa menjalani hariku tanpa rasa sakit ini
lagi, Atau aku akan menatanya lagi?? Ntahlah ...”
Dia lalu berjalan pergi
meninggalkanku bersama semua serpihan luka yang disimpannya rapi dalam sebuah
kotak kecil berwarna biru. Ia menitipkan kotak biru yang indah itu dan sebuah
kantung air mata kepadaku. Dia tak ingin memakainya lagi hingga nanti dia
merasa sangat bahagia sehingga ia membutuhkanya katanya. Entah kapan...