Kamis, 11 Oktober 2012

Aku Mencintaimu


Suatu senja aku berjalan melewati sebuah sungai kecil di pinggiran kota tempat aku hidup. Aku berjalan perlahan dan kemudian melihat seekor burung kecil  termenung di dekat sebuah pohon..
“Apa yang sedang kau lakukan??” tanyaku.,
Dia lalu menengadah ke langit dan menundukkan kepalanya kembali.

“AKU MENCINTAI SEEKOR ELANG..” katanya lirih..

“Suatu hari aku hanya memperhatikanya dari sini, dia begitu indah. Begitu gagahnya melayang di angkasa dan omong kosong jika aku berkata tidak mengharapkannya untuk sejenak melihatku. Aku menunggu meski dia tak tahu. Aku mengharapkan sekalipun dia tak menginginkanku. Ia terus berada jauh di atas sana, melayang di angkasa. Dan aku sangat mengaguminya dari sini, hingga akhirnya ia menukik ke arahku. Betapa aku merasa luar biasa perhatianya tertuju padaku, betapa semua itu membuatku terasa melayang jauh melebihi batasan kemampuanku. Hingga aku menyadari semuanya hanya seketika sampai ia menyakitiku. Sebentar saja dia ingin memangsaku. Semakin dia mendekatiku semakin aku merasa terluka akan semuanya. Ternyata semuanya tak seperti yang aku harapkan...
Aku lalu menyadari kesalahanku dan pergi meninggalkanya dengan penuh luka.”

“Betapa itu sangat menyakitkan” kataku.
Dia lalu melanjutkan ceritanya lagi...
“Ada yang lalu mencoba mengobati lukaku. Perlahan dia balut luka luka di tubuhku. Tapi aku tak cukup kuasa untuk terbang. Aku tak cukup kuasa untuk memandang langit lagi. Tak kuasa untuk mellihat elang yang lain. Ia membantuku berjalan di tanah melewati hari-hari beratku, ia tak pernah menuntutku untuk terbang tinggi seperti elang dulu, ia ada untuk selalu tersenyum anggun kepadaku, ia ada untuk memperingatkanku untuk tidak mengingaat-ingat luka yang pernah aku terima”.
“Butuh waktu yang tidak singkat sampai aku menyadarinya,

"AKU TELAH JATUH HATI PADA SEEKOR MERAK..”
“Aku mencoba memberi dari segala kekuranganku. Dia membuatku bahagia dengan hal kecil yang ia lakukan. Aku sangat menyayanginya. Tetapi sebentar saja ia berubah. Bukan lagi dia yang selalu tersenyum anggun untukku tetapi untuk kepongahan nya. Dia sangat dikagumi banyak orang. Dia lebih  memilih untuk mengorbankan perasaanya daripada bulu indahnya. Dia tak pernah sedetik pun lepas mengawasi mereka. Aku menyayanginya dan mencoba mengerti akan hal itu. Tapi apa yang kudapat? Suatu ketika ia datang menghampiriku dan berbicara bahwa dia hanya ingin berkata bahwa dia menyayangiku, tapi tidak dengan cara ini. Dia menyayangiku tetapi tidak ingin perhatian terhadap bulunya berkurang. “Sudahlah...” katanya, “Aku mencintaimu... tapi ini sudah berakhir...’’
“Ini menyakitiku lebih dari kemarin. Semakin aku menyayanginya, semakin sakit terasa. Dia tak pernah mau tahu apa yang kurasakan. Ketika aku lelah mengikutinya kemanapun untuk memperlihatkan bulu indahnya atau ntahlah dia mungkin tak peduli dengan apa yang aku rasakan.
Semakin lama aku semakin terluka. Terluka akan segala hal yang pernah kualami. Terluka pada semua yang entah mengapa harus aku lalui. Aku lelah, sangat lelah... Ketika aku merasa sangat sakit dan terluka aku harus tetap menjalani hidupku. Ketika aku menangis aku harus tetap berlari meskipun arah tak lagi jelas kulihat, “Sudahlah.. “ ,katanya suatu hari “ Aku tahu kau mencoba bertahan dalam lukamu mendampingiku. Tapi semuanya benar-benar harus berakhir kali ini. Entah itu membutuhkan alasan atau tidak. Entah kau menerimanya atau tidak, yang jelas aku akan pergi. Selamat tinggal semoga kau bahagia”. Dan begitu saja dia benar-benar meninggalkanku yang berusaha memahaminya dengan sangat. Hal itu membuatku benar-benar merasa kosong. Aku tak mengerti mengapa semua terjadi seperti itu. Aku tak mengerti mengapa aku memberikan semuanya setulus hatiku tetapi kemudian ini yang aku dapatkan. Aku tak mengerti...” 

Burung  kecil itu lalu menatapku dan tersenyum menitikkan air matanya...
“Kemudian aku berkenalan dengan seekor nuri kecil. Aku mengenalnya ketika berkali-kali luka itu telah kudapat. Dia berbeda. Dia  sederhana. Tapi ada yang lain darinya. Yang membuatku ingin tertawa setiap kali melihatnya meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain. Yang bisa menertawakan aku ketika melihatku terjatuh saat hendak terbang lalu kemudian datang menghampiri untuk memberikanku sebuah senyuman yang meyakinkanku dia ada  di perjalananku, Dia menyayangiku dan tidak memaksaku. Dia bahkan sering membuatku bingung dengan kata-katanya yang berantakan. Kami berbeda. Sangat berbeda. Dia juga bukan seekor nuri yang begitu pintar untuk kuajak berdiskusi tentang permasalahan  yang kuhadapi. Tetapi dia selalu ada untuk mendengarkanku.

"AKU JATUH CINTA PADANYA...SEEKOR NURI.."
Tapi apa yang kurasa? Aku kecanduan. Ketika aku menginginkan suaranya dia ada beberapa kali dan ketika tidak itu jauh lebih menyakitiku. Ketika aku ingin merasakan hangat tawanya bersamaku malah membuatku menginginkannya seutuhnya. Dia memberikan segala apa yang aku mau, dan ketika aku menginginkan hal kecil sementara dia tidak menyadarinya, membuatku sakit.. Ntahlah apa yang kuinginkan padanya benar atau hanya pelampiasan egoku yang terus disakiti. Bodohnya aku malah menjauhinya. Membiarkan ia terlepas dalam tanyanya. Aku tahu dia pasti sangat terluka karena  aku pun  merasakan luka yang sama. Tapi aku tetap meninggalkanya dengan segudang alasan yang aku karang sendiri di kepalaku. Aku meninggalkanya meskipun aku sangat menyayanginya...,,,”

Aku lalu tertegun melihat mahkluk bersayap itu. Betapa sakit lukanya. 
“Sekarang aku akan beristirahat dulu disini entah sampai kapan. Untuk membuang semua serpihan hatiku yang entah apa lagi bentuknya, entah masih ada atau tidak. Membuang sisa sisa hati yang aku punya. Dan kuharap setelah itu aku bisa menjalani hariku tanpa rasa sakit ini lagi, Atau aku akan menatanya lagi?? Ntahlah ...”

       Dia lalu berjalan pergi meninggalkanku bersama semua serpihan luka yang disimpannya rapi dalam sebuah kotak kecil berwarna biru. Ia menitipkan kotak biru yang indah itu dan sebuah kantung air mata kepadaku. Dia tak ingin memakainya lagi hingga nanti dia merasa sangat bahagia sehingga ia membutuhkanya katanya. Entah kapan...






Pergi


Anak perempuan itu tampaknya tengah menghadapi hari-hari beratnya belakangan ini. Dalam sebuah pergumulan yang dia sendiri tidak dapat mengerti. Ia terlihat sangat kuat, sangat kuat untuk keadaan yang mungkin tak pernah terpikirkan seorangpun sebelumnya. Terlihat? Mungkin saja. Karena aku melihatnya murung belakangan ini. Anak itu kemarin masih membawa beberapa helai angin, beberapa tetes embun dan sekantong serbuk matahari kemanapun ia pergi. Aku iri, bagaimana ia bisa menyatukan elemen-elemen itu dalam senyum dan lompat kakinya setiap hari. Ia selalu terlihat tertawa, hangat  tapi tidak membakar. Ia cerah tapi meneduhkan. Kombinasi yang tak masuk akal bagiku. Embun itu sering aku curi sedikit dari kantongnya. Dan jika aku beritahu, pasti ia akan menangis, tapi hanya sebentar. Dia akan menangis sembari menepuk ku. Lalu entah kenapa ia akan tersenyum lagi. Menutup matanya dan berkata semua baik-baik saja. Tetapi seperti yang aku katakan tadi, dia tak lagi seperti itu. Dia terlihat sedih. Bahkan sahabat-sahabatnya pun bisa ia kelabui dengan serbuk matahari yang hanya tinggal sedikit sekali itu. Mungkin hanya biisa ia pergunakan untuk beberapa jam lagi.Bisa ia menutupinya dengan cahaya setipis itu.
Perjalanan itu singkat tapi pasti sangat melelahkan baginya sampai ia akhirnya menurutiku dan mau berhenti sebentar mereguk air minum yang dia bawa di dalam ranselnya. Air minum itu selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Aku sendiri seringkali ingin mengambil air itu. Air itu sama saja seperti yang orang lain minum. Tetapi setiap kali ia meminumnya? Ada aliran aneh yang terlihat benar-benar mengalir. Aliran yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Aku ingin bertanya banyak hal pada anak perempuan yang terlihat sedih itu. Tetaapi aku belum berani sampai seseorang menanyakan kapan ia pergi. Aku terhenyak, ingin menangis tetapi aku tidak bisa. Pertanyaan itu.. pertanyaan itulah yang kutakutkan ditanyakan kepadanya. Pertanyaan itulah yang sangat ingin aku katakan padanya tetapi aku tidak sanggup. Pertanyaan itulah alasan kenapa saku semakin lama menatap matanya yang sendu itu setiap hari. Pertanyaan itu jugalah yang membawaku tak henti-hentinya mengikuti kemanapun ia pergi.
"Kau hanya memiliki satu hari lagi..", katanya pada seorang anak perempuan yang diam memikirkan sesuatu di bawah teriknya matahari kota itu. "Hanya satu hari untuk menyelesaikan semuanya". Anak perempuan itu merasakan buliran air mengalir dari pori-pori kulitnya yang tak berwarna lagi. Tak lagi semanis cokelat yang dulu sering diberikan sahabatnya.. Dia sangat lelah. Untuk menengadah melihat matahari pun tak kuasa. Matahari membuat retina matanya terasa sakit. Matahari yang dulu sangat ia puja-puja kehadirannya kini hanya ada untuk meyalakan rasa sakit dalam tubuhnya..
"Apa yang akan kau lakukan?" katanya lagi sembari melewati orang-orang yang melihat anak perempuan itu. Anak perempuan itu masih saja diam dalam pikirannya. Tetapi ia berhenti dengan matahari. Sekarang ia berjalan menuju sebuah tempat dimana ia biasanya datang untuk bersandar pada temboknya. Masih saja buliran air itu menetes dari keningnya.Padahal matahari sudah tak lagi menyerangnya. Ia terlihat sangat lelah, tapi raut wajahnya tetap saja tidak dapat membohongi bahwa ia sedang memikirkan sesuatu di benaknya.Dia hanya diam, tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan itu padanya. Masih saja sibuk dengan pemikirannya yang hanya ia yang tahu. Angin sore meniup rambutnya yang tergerai berwarna kecoklatan itu. Beberapa helai terlihat asing warnanya. Seperti keemasan tetapi lebih putih.Sampai sekarang pun ia tak tahu kenapa rambutnya berwarna aneh seperti itu. Yang dia tahu hanya warna itu mirip sekali dengan seorang tua yang selalu saja dikatakan mirip dengannya. Yang sudah berjalan terlalu jauh untuk melewati lika-liku hidup sehingga ia tak pernah menatap matanya yang katanya sama coklat dengan miliknya. Tapi entahlah kelihatannya dia tak akan peduli dengan hal itu, karena menurutku satu-satunya hal yang ia pikirkan sekarang hanyalah hal itu. Hal yang membuat keningnya sudah berkerut sedari kemarin.
“Kenapa kau tak menjawabku?” katanya lagi berbicara di telinga anak perempuan itu. Anak perempuan itu diam saja. Mukanya memerah. Entah malu, entah marah atau apa. Aku ingin berteriak kepada setiap hal yang memberikan pertanyaan itu kepadanya. Aku tahu ia anak perempuan itu berkecamuk hatinya setiap kali setiap pertanyaan dilontarkan kepadanya. Akhirnya ia pergi menuju sebuah pintu. Tepat beberapa detik sebelum ia membuka pintu itu, ia menangis melihatku yang tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia tersenyum tetapi tetesan keringatnya kini bercampur dengan aliran bening dari matanya yang cokelat itu.
“Terima kasih untuk tidak menuntutku seperti yang lain, terima kasih dan maaf. Aku sendiri pun tak pernah tahu semua jawaban dari pertanyaan mereka dan pertanyaan yang aku tahu ada banyak sekali di benakmu. Perjalanan ini mungkin akan menjadi yang paling singkat dan membahagiakan buatku, tetapi bukan tak mungkin akan menjadi perjalanan paling menyedihkan dan panjang untukku. Sampai jumpa lagi angin...”

Rabu, 03 Oktober 2012

Hati yang Bernyanyi



Pagi itu ,awan mendung bergerak mengikuti langkah kaki seorang putri menjejaki lalu lalang yang sangat sibuk. Seorang pengelana berhenti untuk mengamati apa yang sedang terjadi. Putri itu tertegun di sebuah tempat megah berhiaskan lampu berwarna-warnni di depannya. Ia sangat terkagum, matanya bening bulat bercahaya melihat setiap kali lampu-lampu itu berkedip dan bersenandung taktala ada orang yang masuk atau keluar dari tempat itu. Ia menatap ikan kecil di kantung plastik yang ia genggam entah semenjak kapan itu sambil tersenyum. Entah apa yang ada di pikirannya dan ikannya saat itu, yang jelas senyumnya manis, manis sekali. Putri kecil itu lalu mengajak ikannya mendekati lapisan bening yang membatasi antara tempat ia berpijak dengan lampu warna-warni itu. Sedikit lagi, sedikit lagi rasanya lampu itu akan bernyanyi dan mengedipkan matanya untuk putri kecil. Tetapi ia mengurungkan niatnya dan menatap ikan kecilnya lagi. Wajahnya berubah. Ia sedih. Ia pilu. Matanya tetap bersinar namun pilu. Ia lalu menunduk dan menangis. Ia ingin sekali memperoleh kotak-kotak atau bungkusan yang setiap kali orang-orang keluar dari tempat itu pasti dibawa. Ia ingin sekali lampu-lampu itu bernyanyi dan berkedip hanya untuknya. Ia ingin sekali masuk dan melompat di lantai putih yang selalu mengkilap di balik dinding bening itu.

Seorang bidadari menyadarkan lamunan sedih putri kecil bermata bulat bening itu. Sang bidadari memberikan senyum yang sangat manis, sangat manis kepada puti kecil yang amat disayanginya yang tersenyum kepada ikannya untuk memberitahu bahwa bidadari yang mereka tunggu telah datang. Putri kecil menitipkan ikan kecilnya kepada bidadari cantik. Ia percaya bidadari dan ikan kecilnya tak akan saling menyakiti karena putri menyayangi mereka. Putri kembali ke depan dinding bening lagi untuk melihat lampu bernyanyi. Ia tertegun, kembali mengaguminya tiada henti. Ia menatap bidadari dan ikan kecilnya dan sekarang melihat jari kelingkingnya. Kelingking kecil tidak membalas senyum putri yang selalu bersinar matanya itu. Tetapi ia terus mengamatinya. Tanpa sadar ia melangkah terlalu dekat ke arah lampu bernyanyi itu. Tiba-tiba lampu itu bernyanyi dan memainkan matanya. Putri itu menangis. Ia sangat senang. Ia melompat girang hingga sebuah suara tamparan keras mengenai pipinya yang kecil. Seorang lelaki berteriak menyuruhnya pergi. Ia terdiam. Ia ingin teriak tetapi tidak kuasa. Hanya suara-suara yang tidak jelas yang keluar dari bibir kecilnya yang ketakutan itu. Bidadari dan ikannya berlari menghampiri. Memeluk putri itu. Mata bidadari mengisyaratkan hati yang begitu terluka, tetapi ia kuat. Ia ingin putri kecil tahu bahwa ia ada untuk melindunginya. Putri berhenti menangis. Ia lalu turun dari pelukan bidadari itu dan menggenggam tanganya. Ikan kecil di kiri dan tangan bidadari di kanan genggamannya sekarang. Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu sambil tersenyum. Putri kecil memandang ke arah pengelana yang matanya mulai berbinar-binar. Pengelana itu kiranya terpukul juga jiwanya melihat peristiwa itu. Seolah menyadarinya atau mungkin sebenarnya putri kecil tahu manakala semua kejadian tadi terekam di ingatan sang pengelana, ia menoleh ke belakang. Seolah ia ingin agar cerita tentangnya tak hanya berhenti di satu hati. Hati sang pengelana. Ia ingin bernyanyi ke hati yang lain dan berharap kisahnya pun dinyanyikan lagi oleh hati berikutnya. Kisah tentang perjalanan seorang anak bisu dan terbelakang mentalnya bersama seekor ikan kecil dan seorang bidadari yang dipanggilnya ibu....