May be surrounded by a million people, I still feel all alone I just wanna go home I miss you, you know. And I’ve been keeping all the letters that I wrote to you. Each one a line or two, “I’m fine baby, how are you?” Well I would send them but I know that it’s just not enough. My words were cold and flat and you deserve more than that. Another aeroplane, another sunny place.I’m lucky, I know but I wanna go home. I’ve got to go home. Let me go home. I’m just too far from where you are, I wanna come home...(Michael Buble - Home)
Hari-hari terasa begitu memberatkan belakangan ini, tugas, deadline, dan masih banyak lagi yang lain. Jemu rasanya menghadapi layar laptopku, menemui relasiku dan menjalani hari-hari di perantauan. Entah kenapa tiba-tiba terlintas untuk menulis surat pada seseorang di kampung. Seseorang yang mungkin sekarang sedang menghadapi masa-masa sulit menghadapiku. Seseorang yang mungkin sedang memasak makan siang sembari memikirkan apakah aku sudah makan hari ini. Seseorang yang mungkin sedang menonton TV tetapi hatinya bertanya apa yang sedang aku lakukan sekarang. Seseorang yang mungkin sedang tidur tapi matanya tiba-tiba terbangun mendoakanku. Terasa helaan nafas terhembus pelan dari rongga hidungku. Mamak...
Aku mengambil selembar kertas dari binder catatan kerjaku. Beberapa kertas catatan kecil mengenai jadwal dan pekerjaan yang harus kulakukan terjatuh. Ketika kupungut, terasa ada yang aneh di hatiku. Hampa. Aku mengambil pena, tetapi sesaat kemudian bingung, tak tahu apa yang harus aku tuliskan pada seorang tua ini. Akhirnya perlahan aku mulai menulis,
Selamat pagi, Mak,
Apa kabar di kampung? Mengagetkan kah menerima surat ini? Apa yang terjadi padaku? Angin apa yang membawa surat kecil ini padamu? Tenang Mak, aku baik baik saja. Paling tidak lebih baik daripada sebelum aku memulai menulis surat ini. Tak tahu harus memulai tulisan ini darimana Mak. Aku sedang bingung. Tahukah Mamak, saat aku menulis surat ini, aku sedang diburu waktu. Begitu banyak tugas yang harus aku selesaikan. Begitu banyak deadline yang harus aku jalankan. Begitu banyak yang harus aku kerjakan. Yang ini, yang itu, yang disana, yang disini dan segudang pekerjaan yang rasanya tak ada habisnya Mak..
Helaan nafasku terasa begitu berat di ruangan kecil ini. Lelah yang kurasakan sepertinya menekan rasa sakit di perutku. Ah, mamak... Saat-saat seperti ini juga mengingatkanku kembali pada sup favoritku. Sup jagung buatan Mamak yang selalu dihidangkan ketika aku di rumah. Sup yang memberikanku kehangatan dan rasa manis yang selalu menenangkanku. Sup yang kami jadikan bahan rebutan bersama abang dan adik di kampung.
Mak, bagaimana keseharianmu disana? Masihkah sering memasak makanan sambil memikirkan kami di perantauan? Hahaha.. Seandainya Mamak tahu setiap aku makan belakangan ini, aku mengingat Mamak. Aku harap sanggup mengatakan pada Mamak di telepon bahwa aku ingin sup hangat buatan Mamak disini , terlebih lagi ketika perutku terasa nyeri. Tapi tidak aku lakukan karena itu akan sangat menyiksamu. Kau pasti rasanya ingin segera terbang kemari untuk memasaknya sebanyak yang aku mau. Kau pasti akan bangun sepagi mungkin untuk mulai mempersiapkan bahannya. Kau lelah, tetapi tidak akan memikirkan kesehatanmu saat sup hangat itu menyentuh kerongkonganku. Seandainya bisa mendengar Mamak menanyakan rasa makanan yang kau buat atau mendengar Mamak mengatakan bahwa lauk makan malam kita hanya ikan asin, tetapi tetap menghidangkan lebih dari itu saat aku di rumah? Mamak tak akan pernah melakukanya. Aku tahu, kesempatan berkumpul di rumah adalah sesuatu yang langka dan kau tak akan pernah melewatkanya untuk menjadi koki terbaik sepanjang masa bagiku dan kami semua.
Hahahahha... aku juga ingat, Mak, dulu ketika aku masih ada disana, sore hari adalah saat-saat paling menyenangkan di rumah. Aku, Abang, dan Adik akan mengikuti Ayah pelan-pelan mengambil mangkuk dan sumpit dari dapur. Mengendap-endap ke dapur melirik sayuran dan ikan yang baru saja kau masak. Memenuhi mangkuk kami dan berlari ke ruang tengah kita yang kecil, menikmatinya sembari menonton film kartun kesukaan kami. Kau akan menegur kami, Mak. Tetapi aku tahu kau tidak akan tega melarang kami.
Kembali kuhela nafasku tertahan. Ada perasaan sesak di dadaku. Kuletakkan sejenak penaku. Meminum air putih dari mug kecilku. Sesak itu terasa semakin kuat. Aku mengoleskan minyak dari Mamak. Minyak yang Mamak titipkan ke dalam tasku tanpa sepengetahuanku dulu ketika berangkat ke kota ini. Mamak tahu betul apa yang kubutuhkan, yang benar-benar akan kubutuhkan! Minyak itu memberikan aroma harum yang cukup menenangkanku, nafasku perlahan terasa normal. Kembali aku duduk dan menatap suratku.
Mak, aku sangat ingin tahu apa yang sedang kau lakukan sekarang disana.
Masihkah termenung sendiri melihat fotoku ketika masih kecil yang terpajang di ruang tamu kita? Ruangan kecil tempat aku, Mamak, Bapak, Abang dan Adik sering bersama beberapa tahun lalu. Lama sudah kita tak seperti itu lagi kan, Mak? Dimulai ketika Abang melanjutkan studinya ke kota sebelah. Disusul aku dan yang lainnya. Perlahan kami mulai mengayuh mimpi kami di dunia nyata. Mewujudkan harapan-harapan kecil yang dulu kami tuliskan untuk Mamak. Masih sangat jelas di ingatanku Mak, ketika Mamak meminta kami menuliskan mimpi kami di selembar kertas dan menceritakanya. Mamak akan memberikan hadiah uang saku bagi karangan kami dan karanganku Saat itu Mamak memberiku uang saku lima ribu rupiah. Harga yang sangat mahal menurutku kala itu untuk sebuah tulisan sederhana tentang anganku membawamu dan Bapak pergi mengelilingi dunia. Kau sangat bangga dan tertawa kala itu. Tawamu khas. Hingga air mata hampir jatuh di pelupuk matamu. Sekarang aku mulai sadar, Mak. Ternyata mimpi ini sangat mahal. Aku tak pernah membayangkan ternyata mimpi yang aku buat itu sama sekali tidak sesederhana yang aku bayangkan saat itu. Aku mulai menyadari kenapa kau hampir menangis kemarin. Dulu aku tak pernah membayangkan Mak, betapa beratnya perjuangan untuk mimpi itu. Betapa aku harus menjalani semua ini.
Aku ingat hari dimana kau mengajak aku, Abang dan Adik untuk mendoakan mimpi-mimpi kami satu sama lain. Berharap agar kami diberikan cukup kekuatan dan kesabaran untuk menggapainya. Hal itulah yang terkadang membuatku terhenyak, Mak. Di masa-masa sulit seperti saat ini. Teriakan semangatku dulu, doa kecilku dulu, harapanku dulu, ingin rasanya kembali mendapatkan perasaan itu. Jatuh cinta pada sekolahku, pada apa yang aku kerjakan dengan setulus hati. Sekolah pertamaku dulu, Mak? Bahkan aku berangkat satu jam lebih pagi dari jadwalku. Hahaha, betapa lugu dan bersemangatnya aku dulu. Kau hanya tersenyum mengantarkanku ke sekolah yang masih kosong. Kita menunggu berdua disana. Menunggu orang-orang yang menurutku sangat lambat. Aku ingin segera mewujudkan mimpiku, aku ingin segera berlari, aku ingin segera terbang dengan pesawat impianku, aku ingin segera, kenapa kalian tidak begitu? Pikirku dulu pada orang-orang di sekitarku. Tetapi dunia berputar Mak. Kini mereka yang menuntutku bekerja jauh lebih cepat. Mereka menginginkan aku berlari dan berlari. Mereka tidak memperbolehkan aku istirahat Mak. Padahal aku dulu sering melarikan diri ketika kau dengan lembut mengajakku tidur siang. Mereka tak peduli dengan apa yang aku rasakan. Ketika aku merasa dunia ini asing, tidak ada lagi yang memberikan cubitan sampai aku menangis agar aku menyadari kesalahanku dan kemudian membelai rambutku sembari menghapus airmataku untuk mengatakan ia hanya ingin yang terbaik untukku. Tak ada lagi yang mengingatkanku menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada lagi yang beberapa menit kemudian menyeduhkan teh untuk melarutkan isak tangisku.
Aku menarik nafas panjang lagi. Denyutan di kaki kananku terasa lagi. Kulirik jam di layar laptopku. Pantas saja, kataku dalam hati. Ini sudah waktunya aku meminum obat pereda rasa sakit yang diberikan dokter beberapa hari yang lalu ketika aku terjatuh di depan tangga kamarku. . Seandainya obat itu pun tak hanya untuk kaki tetapi juga untuk hatiku.
Mak, berapa lama lagikah kita akan bertemu? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan? Aku ingat Mak, ketika pertama kali aku pergi dari rumah. Mamak menanyakan akankah aku menangis ketika berpisah denganmu? Tidak mungkin jawabku tegas. Aku kuat! Kataku pada mamak. Tetapi nyatanya ketika suratku sampai di sini saja, mataku terasa berat. Aneh ya, Mak? Membayangkan putrimu yang badung ini ingin menangis? Ya, Mak. Entah kenapa terlintas lagi di kepalaku saat di bandara Polonia dulu. Sepanjang perjalanan kita masih berdebat dan bertengkar. Mamak masih saja terus memarahiku dengan alasan yang terkadang tak kumengerti. Di gerbang keberangkatan aku menyalami dan mencium tanganmu. Tetapi aku tak melihat wajahmu. Kau memarahiku saat itu Mak, dan saat-saat itu sangat menyebalkan bagiku. Penerbangan pertamaku berlangsung tiga jam. Dan terakhir kali aku melihatmu dari jauh duduk bersama abang. Abang melambaikan tanganya tetapi kau tidak. Namun, aku tak memikirkan apapun tentang itu. Mungkin kau masih marah, pikrku. Aku baru tahu beberapa hari lalu dari Abang Mak, bahwa saat itu kau menangis. Jujur aku awalnya tak percaya Mak. Mengingat situasi kita saat itu. Namun aku sepertinya mulai sadar arti tangisanmu sekarang. Kau sudah bisa menebak dunia di luar ini sangat keras padaku. Dunia ini akan menggerusku, kau tahu itu dan rasanya pasti sangat menyakitkan. Kau ingin ada untuk mengobati lukaku, kau ingin ada untuk membuatku menangis terlebih dahulu agar dunia tidak perlu membuatku menangis, kau ingin memasak makanan kesukaanku agar dunia tidak membuat perih asam lambungku, kau ingin mengoleskan aroma terapi ke punggungku agar tidak ada yang berani menyentuhku setitik pun, kau ingin ada disini Mak. Aku rasa aku akan mengatakan, itulah yang membuatmu memarahiku tetapi kemudian menangis di bandara dulu.
Mak, aku cukup sehat untuk menuliskan surat ini padamu, surat yang mengungkapkan semua isi kepalaku yang tak bisa kutuangkan pada siapapun selain padamu, hanya saja kakiku masih sedikit sakit. Kemarin dokter mengatakan tidak ada masalah dengan pertulangan kaki kananku pasca jatuh dari lantai dua rumah tinggalku. Jangan khawatir lagi ya, Mak. Sekarang aku baik-baik saja meskipun keadaanku jelas berbeda dibandingkan dulu. Aku kecil pernah terjatuh kan, Mak di tangga kecil depan rumah kita? Saat itu aku betul-betul kesakitan. Tapi kau langsung datang menggendongku ke rumah, membujukku untuk berhenti menangis dan mengobatiku pelan-pelan. Terasa sangat sakit ketika kau menyentuhnya dulu. Kau melarangku untuk berlari. Salah satu kegiatan kesenanganku. Aku marah dan menangis kala itu. Aku menangis melihat anjing kecilku duduk di depan teras menungguku berlari. Sebulan lebih kau menjagaku untuk tidak memanjat pohon, untuk tidak menaiki tangga, untuk tidak bersepeda dan untuk tidak bermain tanpa alas kaki dan tanpa ada yang mengawasiku. Semuanya dulu terasa menyebalkan Mak, hingga kemarin aku terjatuh lagi. Dokter mengatakan aku harus istirahat total di kamarku, kakiku terasa sangat sakit. Tetapi, begitu banyak yang harus kukerjakan. Begitu banyak hal yang harus kukejar, begitu banyak target yang harus kucapai,begitu banyak antrian yang harus kulewati, dan semuanya menegaskan bahwa aku tidak dapat berdiam di kamar Mak. Mak, saat itu aku menangis. Kuharap mamak ada disini memarahiku dan memegangi kakiku sampai terasa sakit, karena sekarang rasanya tanpa kau menjadi sangat sakit. Tidak ada yang mengawasi langkahku Mak, bahkan ketika aku terjatuh. Tidak ada yang mengecek keadaan perkembangan kakiku setiap hari seperti dulu. Tidak ada yang mempersiapkan apa yang aku butuhkan di dekatku agar aku tidak bergerak terlalu banyak seperti kau. Tidak ada yang mencoba meyakinkanku bahwa aku bisa berlari lagi dengan beban apapun di pundakku, melangkah dengan begitu banyak rintangan di hadapanku atau untuk menari meskipun kakiku terasa sakit.
Mak, pernah terlintas dikepalaku untuk menyerah dan kembali ke rumah kita. Rumah yang akan selalu menyambutku separah apapun keadaanku. Rumah yang pintunya akan selalu terbuka untuk langkah letihku. Rumah, tempat dimana aku selalu bisa menemuimu. Aku tahu, Mak. Hatimu akan hancur mendengar perkataan menyerah dariku. Karena itulah aku harap aku tak akan pernah menyerah pada keadaanku ini. Kau sudah sangat baik kepadaku dan aku berhutang banyak padamu. Budi, jiwa, semuanya, dan aku tidak mau menghancurkan hatimu dan hatiku. Aku tak ingin melukaimu, Mak. Aku masih akan berlari dengan kaki sakitku untuk meraih mimpi kecilku dulu. Aku akan coba untuk menyadari kehadiranmu secara utuh di hatiku meskipun tidak dengan ragamu. Aku akan berlari hingga angin membelai rambutku meski tak selembut belaianmu padaku. Doakan aku, Mak agar aku menjadi bijaksana dalam keputusan-keputusan yang akan aku pilih sendiri tanpamu di hidupku. Aku akan baik-baik saja, Mak. Dan aku harap kau pun begitu bersama Bapak disana.
Aku menahan buliran air yang terasa ingin jatuh dari balik kacamata minusku. Karena aku sangat yakin sanggup untuk menahannya. Aku tak mau suratku kotor atau basah. Aku ingin mengirimkan surat tanpa air mata pada Mamak di kampung, karena aku harap Mamak tidak menangis lagi untukku.
Mak, aku juga menuliskan surat ini untuk mengucapkan terima kasih kepadamu. Terima kasih telah memberikanku kenangan manis di setiap luka yang aku hadapi. Terima kasih untuk selalu ada untukku ketika aku jatuh, Terima kasih untuk kau telah ada untukku. Mak, suratku sudah sangat panjang. Matamu pasti sudah berair membacanya. Jika adik disana, kuharap ia bisa membacakanya untukmu sehingga matamu tidak berair dan memerah karena membaca terlalu lama. Aku juga harap Mamak tidak menangis lagi seperti di bandara dulu. Aku baik-baik saja, Mak. Salam untuk Bapak dan yang lainnya,
Putrimu, Margaretha..
Tak lama teleponku berdering. Dengan langkah tertatih aku hampiri. Air mataku tidak dapat kubendung lagi ..
“Halo, Mak!” kataku, “ Aku merindukanmu.....”
"...my beautiful mother, she told me, " in life you’re gonna go far, and if you do it right you’ll love where you are. Just know, that wherever you go, you can always come back home"sometimes it may seem dark, but the absence of the light is a necessary part. Just know, you’re never alone, you can always come back home. Every road is a slippery slope there is always a hand that you can hold on to.
Looking deeper through the telescope you can see that your home’s inside of you. Just know, that wherever you go, no you’re never alone, you can always get back home.."
*Mamak = Panggilan untuk Ibu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar