Kamis, 11 Oktober 2012

Pergi


Anak perempuan itu tampaknya tengah menghadapi hari-hari beratnya belakangan ini. Dalam sebuah pergumulan yang dia sendiri tidak dapat mengerti. Ia terlihat sangat kuat, sangat kuat untuk keadaan yang mungkin tak pernah terpikirkan seorangpun sebelumnya. Terlihat? Mungkin saja. Karena aku melihatnya murung belakangan ini. Anak itu kemarin masih membawa beberapa helai angin, beberapa tetes embun dan sekantong serbuk matahari kemanapun ia pergi. Aku iri, bagaimana ia bisa menyatukan elemen-elemen itu dalam senyum dan lompat kakinya setiap hari. Ia selalu terlihat tertawa, hangat  tapi tidak membakar. Ia cerah tapi meneduhkan. Kombinasi yang tak masuk akal bagiku. Embun itu sering aku curi sedikit dari kantongnya. Dan jika aku beritahu, pasti ia akan menangis, tapi hanya sebentar. Dia akan menangis sembari menepuk ku. Lalu entah kenapa ia akan tersenyum lagi. Menutup matanya dan berkata semua baik-baik saja. Tetapi seperti yang aku katakan tadi, dia tak lagi seperti itu. Dia terlihat sedih. Bahkan sahabat-sahabatnya pun bisa ia kelabui dengan serbuk matahari yang hanya tinggal sedikit sekali itu. Mungkin hanya biisa ia pergunakan untuk beberapa jam lagi.Bisa ia menutupinya dengan cahaya setipis itu.
Perjalanan itu singkat tapi pasti sangat melelahkan baginya sampai ia akhirnya menurutiku dan mau berhenti sebentar mereguk air minum yang dia bawa di dalam ranselnya. Air minum itu selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Aku sendiri seringkali ingin mengambil air itu. Air itu sama saja seperti yang orang lain minum. Tetapi setiap kali ia meminumnya? Ada aliran aneh yang terlihat benar-benar mengalir. Aliran yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Aku ingin bertanya banyak hal pada anak perempuan yang terlihat sedih itu. Tetaapi aku belum berani sampai seseorang menanyakan kapan ia pergi. Aku terhenyak, ingin menangis tetapi aku tidak bisa. Pertanyaan itu.. pertanyaan itulah yang kutakutkan ditanyakan kepadanya. Pertanyaan itulah yang sangat ingin aku katakan padanya tetapi aku tidak sanggup. Pertanyaan itulah alasan kenapa saku semakin lama menatap matanya yang sendu itu setiap hari. Pertanyaan itu jugalah yang membawaku tak henti-hentinya mengikuti kemanapun ia pergi.
"Kau hanya memiliki satu hari lagi..", katanya pada seorang anak perempuan yang diam memikirkan sesuatu di bawah teriknya matahari kota itu. "Hanya satu hari untuk menyelesaikan semuanya". Anak perempuan itu merasakan buliran air mengalir dari pori-pori kulitnya yang tak berwarna lagi. Tak lagi semanis cokelat yang dulu sering diberikan sahabatnya.. Dia sangat lelah. Untuk menengadah melihat matahari pun tak kuasa. Matahari membuat retina matanya terasa sakit. Matahari yang dulu sangat ia puja-puja kehadirannya kini hanya ada untuk meyalakan rasa sakit dalam tubuhnya..
"Apa yang akan kau lakukan?" katanya lagi sembari melewati orang-orang yang melihat anak perempuan itu. Anak perempuan itu masih saja diam dalam pikirannya. Tetapi ia berhenti dengan matahari. Sekarang ia berjalan menuju sebuah tempat dimana ia biasanya datang untuk bersandar pada temboknya. Masih saja buliran air itu menetes dari keningnya.Padahal matahari sudah tak lagi menyerangnya. Ia terlihat sangat lelah, tapi raut wajahnya tetap saja tidak dapat membohongi bahwa ia sedang memikirkan sesuatu di benaknya.Dia hanya diam, tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan itu padanya. Masih saja sibuk dengan pemikirannya yang hanya ia yang tahu. Angin sore meniup rambutnya yang tergerai berwarna kecoklatan itu. Beberapa helai terlihat asing warnanya. Seperti keemasan tetapi lebih putih.Sampai sekarang pun ia tak tahu kenapa rambutnya berwarna aneh seperti itu. Yang dia tahu hanya warna itu mirip sekali dengan seorang tua yang selalu saja dikatakan mirip dengannya. Yang sudah berjalan terlalu jauh untuk melewati lika-liku hidup sehingga ia tak pernah menatap matanya yang katanya sama coklat dengan miliknya. Tapi entahlah kelihatannya dia tak akan peduli dengan hal itu, karena menurutku satu-satunya hal yang ia pikirkan sekarang hanyalah hal itu. Hal yang membuat keningnya sudah berkerut sedari kemarin.
“Kenapa kau tak menjawabku?” katanya lagi berbicara di telinga anak perempuan itu. Anak perempuan itu diam saja. Mukanya memerah. Entah malu, entah marah atau apa. Aku ingin berteriak kepada setiap hal yang memberikan pertanyaan itu kepadanya. Aku tahu ia anak perempuan itu berkecamuk hatinya setiap kali setiap pertanyaan dilontarkan kepadanya. Akhirnya ia pergi menuju sebuah pintu. Tepat beberapa detik sebelum ia membuka pintu itu, ia menangis melihatku yang tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia tersenyum tetapi tetesan keringatnya kini bercampur dengan aliran bening dari matanya yang cokelat itu.
“Terima kasih untuk tidak menuntutku seperti yang lain, terima kasih dan maaf. Aku sendiri pun tak pernah tahu semua jawaban dari pertanyaan mereka dan pertanyaan yang aku tahu ada banyak sekali di benakmu. Perjalanan ini mungkin akan menjadi yang paling singkat dan membahagiakan buatku, tetapi bukan tak mungkin akan menjadi perjalanan paling menyedihkan dan panjang untukku. Sampai jumpa lagi angin...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar