Anak perempuan itu tampaknya tengah menghadapi
hari-hari beratnya belakangan ini. Dalam sebuah pergumulan yang dia sendiri
tidak dapat mengerti. Ia terlihat sangat kuat, sangat kuat untuk keadaan yang
mungkin tak pernah terpikirkan seorangpun sebelumnya. Terlihat? Mungkin saja.
Karena aku melihatnya murung belakangan ini. Anak itu kemarin masih membawa
beberapa helai angin, beberapa tetes embun dan sekantong serbuk matahari
kemanapun ia pergi. Aku iri, bagaimana ia bisa menyatukan elemen-elemen itu
dalam senyum dan lompat kakinya setiap hari. Ia selalu terlihat tertawa,
hangat tapi tidak membakar. Ia cerah
tapi meneduhkan. Kombinasi yang tak masuk akal bagiku. Embun itu sering aku
curi sedikit dari kantongnya. Dan jika aku beritahu, pasti ia akan menangis,
tapi hanya sebentar. Dia akan menangis sembari menepuk ku. Lalu entah kenapa ia
akan tersenyum lagi. Menutup matanya dan berkata semua baik-baik saja. Tetapi
seperti yang aku katakan tadi, dia tak lagi seperti itu. Dia terlihat sedih.
Bahkan sahabat-sahabatnya pun bisa ia kelabui dengan serbuk matahari yang hanya
tinggal sedikit sekali itu. Mungkin hanya biisa ia pergunakan untuk beberapa
jam lagi.Bisa ia menutupinya dengan cahaya setipis itu.
Perjalanan itu singkat tapi pasti sangat
melelahkan baginya sampai ia akhirnya menurutiku dan mau berhenti sebentar
mereguk air minum yang dia bawa di dalam ranselnya. Air minum itu selalu ia bawa
kemanapun ia pergi. Aku sendiri seringkali ingin mengambil air itu. Air itu
sama saja seperti yang orang lain minum. Tetapi setiap kali ia meminumnya? Ada
aliran aneh yang terlihat benar-benar mengalir. Aliran yang aku sendiri tak
tahu apa namanya. Aku ingin bertanya banyak hal pada anak perempuan yang
terlihat sedih itu. Tetaapi aku belum berani sampai seseorang menanyakan kapan
ia pergi. Aku terhenyak, ingin menangis tetapi aku tidak bisa. Pertanyaan itu..
pertanyaan itulah yang kutakutkan ditanyakan kepadanya. Pertanyaan itulah yang
sangat ingin aku katakan padanya tetapi aku tidak sanggup. Pertanyaan itulah
alasan kenapa saku semakin lama menatap matanya yang sendu itu setiap hari.
Pertanyaan itu jugalah yang membawaku tak henti-hentinya mengikuti kemanapun ia
pergi.
"Kau hanya memiliki satu hari lagi..",
katanya pada seorang anak perempuan yang diam memikirkan sesuatu di bawah
teriknya matahari kota itu. "Hanya satu hari untuk menyelesaikan
semuanya". Anak perempuan itu merasakan buliran air mengalir dari
pori-pori kulitnya yang tak berwarna lagi. Tak lagi semanis cokelat yang dulu
sering diberikan sahabatnya.. Dia sangat lelah. Untuk menengadah melihat
matahari pun tak kuasa. Matahari membuat retina matanya terasa sakit. Matahari
yang dulu sangat ia puja-puja kehadirannya kini hanya ada untuk meyalakan rasa
sakit dalam tubuhnya..
"Apa yang akan kau lakukan?" katanya
lagi sembari melewati orang-orang yang melihat anak perempuan itu. Anak
perempuan itu masih saja diam dalam pikirannya. Tetapi ia berhenti dengan
matahari. Sekarang ia berjalan menuju sebuah tempat dimana ia biasanya datang
untuk bersandar pada temboknya. Masih saja buliran air itu menetes dari keningnya.Padahal
matahari sudah tak lagi menyerangnya. Ia terlihat sangat lelah, tapi raut
wajahnya tetap saja tidak dapat membohongi bahwa ia sedang memikirkan sesuatu
di benaknya.Dia hanya diam, tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan itu
padanya. Masih saja sibuk dengan pemikirannya yang hanya ia yang tahu. Angin
sore meniup rambutnya yang tergerai berwarna kecoklatan itu. Beberapa helai
terlihat asing warnanya. Seperti keemasan tetapi lebih putih.Sampai sekarang
pun ia tak tahu kenapa rambutnya berwarna aneh seperti itu. Yang dia tahu hanya
warna itu mirip sekali dengan seorang tua yang selalu saja dikatakan mirip
dengannya. Yang sudah berjalan terlalu jauh untuk melewati lika-liku hidup
sehingga ia tak pernah menatap matanya yang katanya sama coklat dengan miliknya.
Tapi entahlah kelihatannya dia tak akan peduli dengan hal itu, karena menurutku
satu-satunya hal yang ia pikirkan sekarang hanyalah hal itu. Hal yang membuat
keningnya sudah berkerut sedari kemarin.
“Kenapa kau tak menjawabku?” katanya lagi
berbicara di telinga anak perempuan itu. Anak perempuan itu diam saja. Mukanya
memerah. Entah malu, entah marah atau apa. Aku ingin berteriak kepada setiap
hal yang memberikan pertanyaan itu kepadanya. Aku tahu ia anak perempuan itu
berkecamuk hatinya setiap kali setiap pertanyaan dilontarkan kepadanya.
Akhirnya ia pergi menuju sebuah pintu. Tepat beberapa detik sebelum ia membuka
pintu itu, ia menangis melihatku yang tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia
tersenyum tetapi tetesan keringatnya kini bercampur dengan aliran bening dari
matanya yang cokelat itu.
“Terima kasih untuk tidak menuntutku seperti yang
lain, terima kasih dan maaf. Aku sendiri pun tak pernah tahu semua jawaban dari
pertanyaan mereka dan pertanyaan yang aku tahu ada banyak sekali di benakmu.
Perjalanan ini mungkin akan menjadi yang paling singkat dan membahagiakan
buatku, tetapi bukan tak mungkin akan menjadi perjalanan paling menyedihkan dan
panjang untukku. Sampai jumpa lagi angin...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar